LAHAT, jurnalsumatra.com – Lantaran telat membayar angsuran, PT. Wahana Ottomitra Multiartha (WOM Finance) menggugat debiturnya ke Pengadilan Negeri (PN) Lahat, atas dalil cidera janji atau wanprestasi, dengan objek 1 unit kendaraan bermotor merk Toyota.
Gugatan yang dilayangkan oleh pihak leasing tersebut, terdaftar dengan nomor : 32/Pdt. G.S/2024/PN Lahat, tertanggal 28 Mei 2024. Disertai Surat kuasa khusus nomor : 070/POA/LGL/IV/2024 tertanggal 29 April 2024.
Atas adanya gugatan ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Lahat Raya (Lahat, Muara Enim, Pagar Alam dan Empat Lawang) memberikan perlindungan atau pendampingan hukum kepada konsumen (debitur)
“Gugatan tersebut, terkait perjanjian pembiayaan nomor 1431120230702413 tanggal 31 Juli 2023 dengan objek 1 (satu) unit kendaraan bermotor merk Toyota,” kata Ketua YLKI Lahat Raya, Sanderson Syafe’i, ST., SH, pada Senin (10/6/2024).
Dan pada perkara ini kita menemukan berapa keganjilan yang memenuhi unsur cacat formil dalam gugatan sederhana (GS). Jelas dia, Pertama WOM Finance mendaftarkan gugatan menggunakan gugatan sederhana.
“Dimana sengketa pembiayaan masuk kategori sengketa perdata kontraktual, jika terjadi wanprestasi/lalai dalam melaksanakan kewajiban kontraktual, seharusnya di perdata umum,” ujar dia.
Kedua, Surat Gugatan tak ditandatangani langsung pemberi kuasa dalam hal ini Direktur Utama PT. Wahana Ottomitra Multiartha, kata dia lagi, terkesan pelaku usaha tidak beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya merujuk UU Perlindungan Konsumen 8/1999 Pasal 7.
“Ketiga, dalam gugatan dicantumkan nomor sertifikat fidusia 3W6.00115735.AH.05.01 tahun 2023. Kita meragukan keabsahan sertifikat fidusia karena konsumen atau debitur tidak pernah datang ke notaris,” ungkap dia.
Sehingga secara hukum, lanjut dia, perjanjian fidusia tersebut tidak memiliki hak eksekutorial dan dapat dianggap sebagai hutang piutang biasa.
“Perusahaan leasing tidak berwenang melakukan eksekusi, bila transaksi tidak diaktakan notaris, apalagi tidak didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia,” tutur dia
Jelas dia lagi, Menurut Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia mengamanatkan eksekusi dilakukan harus melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“Kita berharap, hakim tunggal Muhamad Chozin Abu Sait, S.H lebih jeli menyikapi hal ini, jangan terkesan Pengadilan Negeri sebagai alat pelaku usaha atau oknum yang diduga tidak menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan,” tegas dia.
“Dihadapan hakim, kita meminta untuk penggugat, agar rekening konsumen tidak diblokir atau dipersulit jika ingin melakukan pembayaran,” tambahnya.
Komentar