Artinya, menurut Krisna, cukai rokok dapat menjadi instrumen untuk mengendalikan konsumsi rokok tetapi tidak berkorelasi langsung dengan peredaran rokok ilegal.
Hal tersebut berlawanan dengan pendapat kalangan industri rokok yang menentang rencana kenaikan cukai rokok karena dianggap dapat meningkatkan jumlah rokok ilegal.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Hayoan mengatakan sejak kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2020 sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen ditambah kenaikan tarif CHT 12,5 persen pada 2021, beban para pengusaha rokok bertambah berat, apalagi ditambah adanya pandemi COVID-19.
Henry mengusulkan agar pemerintah tidak menaikkan tarif CHT karena akan membantu para pengusaha rokok untuk melakukan pemulihan akibat kenaikan tarif dan pandemi yang berlangsung dua tahun ini.
Sebaliknya, Krisna mengungkapkan pemerintah sebaiknya membuat prioritas dan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang antara lain berisi pembuatan peta jalan CHT termasuk soal kenaikan cukai rokok.
“Dari kajian kami, cukai rokok dapat dimasukkan ke alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang bisa digunakan untuk penindakan hukum rokok ilegal sekaligus menekan prevalensi merokok,” ungkap Krisna.
Operasionalisasi DBHCHT sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 206/PMK.07/2020 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau. Dalam aturan tersebut ditentukan bahwa dari DBHCHT suatu daerah sebesar 50 persen untuk bidang kesejahteraan masyarakat, 25 persen untuk bidang penegakan hukum, dan 25 persen untuk bidang kesehatan.
“Di Malang, DBHCHT-nya sebesar Rp20 miliar, di Pasuruan Rp50,11 miliar, dan Kudus Rp38,88 miliar dan daerah-daerah ini menggunakan dana tersebut sesuai dengan karakteristik masing-masing, misalnya untuk sosialisasi, operasi bersama hingga pembentukan kawasan tertentu hasil tembakau sehingga memfasilitasi produsen-produsen rokok kecil tidak memproduksi rokok ilegal,” tambah Krisna.
Meski aturan tersebut baik, dalam pelaksanaan di lapangan, Krisna mengakui bahwa daerah-daerah yang memiliki DBHCHT adalah daerah produsen tembakau, sementara rokok ilegal banyak dipasarkan di daerah yang bukan produsen tembakau sehingga daerah itu tidak punya alokasi khusus untuk memberantas rokok ilegal.
“Maka perlu dipikirkan apakah ada pembagian anggaran untuk daerah yang biasa menjadi target pemasaran rokok ilegal karena mereka tidak punya DBHCHT misalnya dengan menggunakan pajak rokok,” kata Krisna.
Komentar