oleh

Dampak negatif ganda rokok ilegal

Sobrani mengaku bahwa kasus cukai ilegal relatif cepat dan tidak sulit untuk ditangani karena merupakan kasus tangkap tangan sehingga para pelaku tidak dapat menghindar dari perbuatannya.

Kondisi rokok ilegal

Di masyarakat, setidaknya ada lima kategori rokok yang masuk kedalam rokok ilegal, yaitu (1) rokok polos yang tidak berpita cukai, (2) rokok dengan pita cukai palsu, (3) rokok yang menggunakan pita cukai bekas dari bungkus rokok lain, (4) rokok berpita cukai salah personalisasi yang menggunakan pita cukai dari pabrik rokok lain serta (5) rokok dengan pita cukai salah peruntukkan atau yang menggunakan pita cukai jenis rokok lain yang tidak sesuai dengan jenis rokoknya.

Berdasarkan survei dua tahunan yang dilakukan Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada (P2EB UGM) pada 2016-2020, peredaran rokok ilegal terus menurun, yakni pada 2016 sekitar 12,14 persen menjadi 7,04 persen pada tahun 2018, artinya setiap 100 bungkus rokok yang beredar, sebanyak 7 di antaranya adalah rokok ilegal.

Jumlah tersebut setara dengan produksi 16,8 miliar batang rokok. Dengan jumlah tersebut, potensi kerugian negara karena peredaran rokok ilegal Rp909,45 miliar-Rp980 miliar.

Nilai tersebut didapat dari perhitungan dua hal, yaitu akibat volume pelanggaran dan akibat kenaikan harga. Harga rokok yang naik akibat cukai dapat mendorong peningkatan prevalensi cukai rokok ilegal.

Survei itu dilakukan di 73 kabupaten/kota dengan komposisi 17 kabupaten/kota merupakan kategori tingkat konsumsi rokok tinggi, 38 kabupaten/kota dengan kategori tingkat konsumsi menengah, dan 18 kabupaten/kota dengan tingkat konsumsi rendah.

Selanjutnya pada 2020 peredaran rokok ilegal nasional kembali menurun menjadi sebesar 4,86 persen atau setiap 100 bungkus rokok yang beredar, sebanyak 4-5 batang di antaranya adalah rokok ilegal.

Dengan jumlah tersebut, potensi kerugian negara karena peredaran rokok ilegal Rp339,18 miliar.

Survei dilakukan di 64 kabupaten/kota dengan komposisi 19 kabupaten/kota merupakan kategori tingkat konsumsi rokok tinggi, 26 kabupaten/kota dengan kategori tingkat konsumsi menengah dan 19 kabupaten/kota dengan tingkat konsumsi rendah.

Selain survei kuantitatif, P2EB UGM pernah melakukan studi kualitatif dengan mewawancarai para perokok yang menunjukkan meningkatnya harga rokok karena pertambahan cukai rokok tidak langsung membuat perokok sama sekali tidak mengonsumsi rokok.

“Kami menanyakan kalau hanya punya uang Rp20 ribu di daerah terpencil, memilih untuk makan atau merokok? Mereka jawab ‘ya dua-duanya, tidak bisa memilih hanya makan saja, jadi pasti akan tetap merokok. Kami juga bertanya kalau misalnya harga rokok naik 300 persen apakah berhenti merokok? Jawabnya tidak, tapi hanya mengurangi konsumsi rokok, misalnya yang biasanya sehari sebungkus menjadi setengah bungkus,” kata Direktur P2EB FEB UGM Artidiatun.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed