“Sistem pemilihan seperti ini menyuburkan mafia tanah, karena sebagai akibatnya para kepala kantor di tingkat daerah kabupaten/kota dan kepala kantor wilayah di tingkat provinsi pada akhirnya tidak berani menindak para mafia tanah di daerah masing-masing sebagaimana yang diinginkan Presiden Jokowi. Dengan alasan memilih aman demi jabatan mereka, sebaliknya para kepala kantor yang ingin menumpas mafia tanah malah tidak diizinkan,” kata Junimart.
Ketiga, keberadaan Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra selama ini dinilai kurang bekerja menjalankan “land reform” dan penanganan konflik agraria. Hal tersebut dikatakannya sebagai salah satu penyebab selama satu tahun terakhir pengukuran ulang terhadap konflik HGU tidak pernah bisa terealisasi.
“Keempat, maraknya buku tanah atau warkah pendaftaran tanah yang hilang. padahal warkah itu kumpulan berkas penerbitan sertifikat tanah yang disimpan oleh BPN. Ketika barang berharga itu hilang, akibatnya kepastian sertifikat tidak terpenuhi dan ironisnya lagi banyak sertifikat tanah terbit yang lokasinya tidak bisa ditemukan,” ujarnya.
Sedangkan catatan kelima, Kementerian ATR/BPN dianggap lebih memprioritaskan program pemberian sertifikat tanah gratis atau PTSL yang tidak sesuai sasaran dibandingkan dengan pemberian sertifikat tanah redistribusi kepada para petani penggarap atas lahan yang dibagikan oleh negara sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.
“Sertifikasi redistribusi terhambat, karena Kementerian ATR/BPN lebih memprioritaskan PTSL dari pada redistribusi,” ujar Junimart.
Oleh karena itu, ia menyakini Kementerian ATR/BPN di bawah kepemimpinan Sofyan Djalil dalam menjalankan program pertanahan Presiden Jokowi, di antaranya pemberian sertifikat tanah gratis atau PTSL, redistribusi, dan reforma agraria hanya sebatas euforia semata dan jauh dari target.
“Saya meyakini Presiden Jokowi tidak mengetahui fakta-fakta permasalahan pertanahan yang terjadi ini di masyarakat. PTSL, redistribusi, reforma agraria hanya sebatas euforia, jauh dari target yang dicanangkan oleh Presiden bahwa tanah harus prorakyat sesuai Pasal 33 UUD 1945. Ditambah lagi keluhan masyarakat tentang sistem pelayanan badan pertanahan untuk pengurusan sertifikasi SOP-nya yang tidak berjalan,” kata dia pula.
Junimart pun menyarankan agar Sofyan Djalil mengundurkan diri dari jabatannya di Kabinet Indonesia Maju jika tidak mampu menyelesaikan carut-marut pertanahan tersebut.
“Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil seharusnya sebagai seorang sosok pemimpin/akademisi yang mumpuni sebaiknya mengundurkan diri dari kabinet Presiden Jokowi,” ujar Junimart.(anjas)
Komentar