Semarang, jurnalsumatra.com – Respons yang lambat terhadap kebocoran data pribadi masyarakat membuktikan bahwa keamanan siber masih menjadi hal yang baru dan asing bagi lembaga pemerintah di Indonesia.
Kelambatan penanganan kebocoran data di lembaga pemerintah, ambil contoh kasus dugaan terjadi kebocoran 1,3 juta data pada Kartu Kewaspadaan Kesehatan atau Electronic Health Alert Card (e-HAC) milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Dugaan kebocoran data e-HAC (aplikasi untuk keperluan tracking dan tracing COVID-19), lambat dalam men-takedown (mencopot) server aplikasi e-HAC lama. Server atau peladen baru di-takedown sebulan lebih sejak laporan pertama ke Kemenkes. Itu pun setelah pelapor dalam hal ini vpnMentor menghubungi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Menurut Kemenkes, aplikasi e-HAC yang lama ini sudah tidak dipakai per 2 Juli 2021. Kendati demikian, kebocoran data ini tetap disayangkan karena ada 1,3 juta data pribadi masyarakat yang terekspos.
Dari data tim vpnMentor, mereka menemukan database e-HAC ini pada tanggal 16 Juli 2021. Tim lantas mengecek terlebih dahulu kebenaran data ini, kemudian memberikan informasi ke Kemenkes pada tanggal 21 dan 26 Juli 2021, lalu menghubungi Google sebagai hosting provider (tempat file website) pada tanggal 25 Agustus 2021.
Karena tidak mendapatkan tanggapan, tim vpnMentor menghubungi BSSN pada tanggal 22 Agustus 2021. Badan Siber dan Sandi Negara langsung merespons laporan tersebut dan bergerak ke Kemenkes.
Setelah tidak mendapatkan balasan dari Kemenkes, laporan vpnMentor ke BSSN ditanggapi langsung pada tanggal 22 Agustus, kemudian pada tanggal 24 Agustus server e-HAC tersebut langsung di-take down.
Artinya, menurut pakar keamanan siber dari CISSReC Dr Pratama Persadha, ada waktu yang terbuang selama lebih dari sebulan karena mungkin ketidakmengertian dari sumber daya manusia (SDM) Kemenkes. Baru setelah laporan diterima BSSN, langsung dilakukan takedown.
Seperti yang pernah diwartakan oleh sejumlah media, data yang bocor sebanyak 1,4 juta dan ada 1,3 juta user e-HAC. Data ini berupa nama, nama rumah sakit, alamat, hasil tes PCR, akun e-HAC, dan data detail tentang RS serta dokter yang melakukan perawatan atau memeriksa user e-HAC. Bahkan, ada data hotel pengguna, nomor KTP, nomor paspor, email, dan lainnya.
Kelengahan dari developer ini, menurut Pratama, pemilik akun e-HAC bisa menjadi target profiling dan penipuan dengan modus COVID-19, seperti telemedicine palsu. Ini sangat berbahaya.
Walau aplikasi e-HAC yang datanya terekspos ini berbeda dengan e-HAC yang saat ini dipakai di aplikasi PeduliLindungi, perlu tetap responsif. Agar bisa bertindak cepat, perlu ada tim tanggap darurat komputer di setiap instansi.
Komentar