Paulus M, warga asli suku Kamoro lain juga membenarkan ukiran kayu yang menjadi warisan budaya leluhurnya dan masih lestari hingga kini.
Ketua Sanggar Manikame itu bercerita bahwa anak-anak sekolah di Kamoro sudah diajari memahat kayu, sekalipun tidak semua anak.
Biasanya, hanya orang-orang tua yang mempunyai bakat mengukir yang diwariskan turun temurun kepada anak turunannya, termasuk Paulus salah satunya.
Pada usianya yang tak lagi muda, ketua Sanggar Manikame itu masih produktif memahat kayu, sembari menunggui lapak miliknya di lokasi yang sama.
“Ini saya baru selesai kerja, pahat,” kata pria ramah berkacamata itu, sambil menunjukkan ukiran kayu setengah matang karyanya.
Ukiran kayu pula yang mengantarkan Paulus berkesempatan bertemu dengan Presiden Joko Widodo.
“Kalau dari pena (pendidikan) belum tentu saya ketemu Bapak, tapi dari pahat saya bisa,” ujar Paulus mengenang momentum ketika bertemu orang nomor satu di Indonesia itu.
Sanggar Manikame yang dipimpinnya tak hanya berkutat dengan ukiran kayu, tapi banyak seni lainnya, seperti tari hingga membuat noken. Hanya saja, Paulus mempunyai lima pemahat di sanggarnya.
Seni otentik
Ukiran kayu suku Kamoro hanya boleh dibuat oleh orang asli suku tersebut. Itulah sebabnya relatif susah menemukannya selain di daerah Papua, terutama Mimika.
Kalaupun ada di luar Papua, biasanya dibawa untuk pameran atau memang dipesan khusus. Namun, banyak juga ukiran Kamoro yang kini menjadi koleksi di luar negeri.
Harga yang ditawatkan pun bervariasi, mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Tergantung kepada ukuran dan kerumitan motifnya, sementara untuk bahannya menggunakan kayu besi.
Atlet yang berlaga pada PON Papua pun tak mau ketinggalan berburu ukiran kayu Kamoro, seperti Rio Maholtra yang tak sengaja ketemu saat sedang berbelanja di Pasar Lama Timika.
Atlet peraih medali emas nomor 110 meter gawang itu terlihat menenteng tiga ukiran kayu, yakni dua ukiran berwujud tongkat dan satu ukiran berbentuk kotak dengan motif ikan.
Rio langsung kepincut kala melihat ukiran ikan itu karena keotentikannya. Motifnya sederhana dan polesan akhirnya masih cukup kasar, tapi justru di situlah letak keaslian cita rasa seninya.
“Seneng. Karena enggak banyak tempat yang jualnya. Aku memang suka yang limited edition,” kata atlet kelahiran Lahat, Sumatera Selatan, 28 Desember 1993 itu.
Rio yang juga anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) itu juga mengetahui kalau ukiran suku Kamoro memiliki nilai dan makna tersendiri dalam setiap motifnya.
“Jadi, mereka bikinnya enggak sembarangan. Ada sejarahnya,” kata atlet yang mewakili Sumatera Selatan tersebut.
Komentar