Nengah mengatakan hal tersebut disepakati anggota adat itu sendiri dan menjadi awig-awig (tata krama).
Ada tiga level penduduk di dalam Desa Penglipuran yakni krama (warga) desa adat, krama tamu, dan tamu. Aturan tersebut hanya mengikat pada krama desa adat meski domisilinya telah di luar desa.
“Itu akan tetap terikat. Kami juga punya keluarga di Yogyakarta, Jakarta, selama dirinya masih terikat sebagai anggota krama, kita pertahankan terus,” kata Nengah.
Jumlah penduduk di Desa Penglibpuran kurang lebih 1.111 jiwa, dengan jumlah antara perempuan dan laki-laki hampir seimbang.
Adapun perempuan yang berada di desa tersebut sangat produktif. Meski memegang peranan rumah tangga, ada juga yang menjadi pengrajin, penjual bibit bunga, bertani dan beternak.
Selain itu ada yang berjualan hasil karya yang dijual secara daring.
“Perempuan atau laki-laki harus berkolaborasi di rumah tangganya masing-masing dan menjaga kehidupan yang primer,” katanya.
Layak perempuan dan anak
Di Kabupaten Bangli sendiri kini tengah berupaya mewujudkan kabupaten layak anak dan perempuan, meski sudah dilaksanakan sejak lama dan turun temurun secara adat.
Di samping itu, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bangli, I Wayan Jimat menilai Desa Penglipuran dapat menjadi Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) yang dicanangkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi (Kemendes PDTT)
Ia mengatakan dalam melaksanakan DRPPA tersebut, pihaknya akan berkoordinasi dengan pimpinan daerah, khsusnya juga aparat desa dan pemimpin desa adat setempat.
“Peran desa sangat signifikan di dalam melaksanakan program-program kami di pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, salah satu contohnya di sini ada yang namanya Karang Memadu,” katanya.
Karang Memadu sendiri, menurut dia, merupakan cara efektif membentuk tatanan desa yang ramah perempuan dan peduli anak. Pelakunya diberikan tempat pengasingan yang sangat berbeda dengan rumah yang lain.
“Kalau dalam konteks adat, yang membedakan jika ada di rumah karang itu rasa malunya luar biasa. Itu efektif sekali mencegah poligami, karang memadunya jadi kosong,” katanya.
Dengan adanya sanksi adat tersebut, diharapkan adanya tatanan kehidupan yang tentram dan nyaman bagi penduduk desa.
I Wayan Jimat mengatakan data terakhir dari segi penilaian mandiri pihaknya sudah mencapai penilaian angka 836 dari lima klaster yang mereka laksanakan.
Komentar