“Anak buta kok dibawa ke sekolah umum, anak saya yang normal aja susah belajarnya,” demikian cemooh dari tetangga kepada Rohayati saat memasukkan Dwi ke sekolah umum.
Awalnya, ia masih sabar dan tidak terlalu mendengarkan omongan tetangganya, namun setiap hari tetangga selalu mencemooh.
“Mbak maaf, Dwi mau sekolah SD, mau SLB itu urusan saya, mohon jangan ikut campur,” kata Rohayati kepada tetangga.
Bukannya terima tetangga malah mengira Rohayati menyuap pihak sekolah karena heran anak tunanetra bisa diterima di SD negeri.
Namun, ia tidak surut dan pantang menyerah. Setiap hari ia mengantar dan menemani Dwi di sekolah. Untuk belajar membaca dan menulis, Rohayati membelikan gambar abjad lalu memandu dan melatih Dwi di rumah. Tak sia-sia, selama SD Dwi menorehkan prestasi selalu rangking lima besar di kelasnya.
Selepas SD, Dwi melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 23 Padang. Ia kian cemerlang dan pernah menggondol juara umum pada kelas 1 dari sembilan kelas yang ada. Selama belajar di SMP, Dwi sudah memiliki guru pendamping sehingga ketika ujian cukup dibacakan kemudian dijawab dan ditulis oleh gurunya.
Setelah SMP, awalnya Dwi ingin melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri. Namun setelah didatangi sang ibu, pihak sekolah menyampaikan belum ada guru pendamping sehingga khawatir Dwi tidak maksimal belajar. Akhirnya, orang tuanya memutuskan memasukkan Dwi ke SMK Negeri 7 Padang mengambil jurusan musik.
Di SMKN 7 jurusan musik, Dwi terus mempertahankan prestasinya menjadi juara kelas. Pada penutupan Pesantren Ramadhan 1442 Hijriah di sekolah, ia mendapatkan tiga penghargaan, yaitu sebagai santri terbaik, hafiz Al Quran terbaik, dan siswa yang paling aktif pada materi bela negara.
Di bidang olahraga, ia juga berprestasi saat mengikuti kejuaraan paralympic dan menjadi juara I lari 100 meter tingkat provinsi.
Motivasi Ibu
Bagi Dwi, ibu adalah segalanya yang selalu memotivasi dan menemaninya ke mana-mana dan menjadi semangat hidupnya.
Setiap hari ia diantar dan ditemani di sekolah. Dwi biasanya berangkat diantar oleh ayah yang bekerja sebagai buruh di pabrik pupuk menggunakan motor.
Sang ibu juga yang mengajarkan Dwi mengaji dan kini ia telah hafal Al Quran lima juz. Awalnya, ia dibacakan Al Quran oleh ibu, kemudian diulang hingga lancar.
Pada kelas 4 SD, ia mendapatkan hadiah Al Quran digital dari ibu-ibu di permukiman usai menang lomba tahfiz Al Quran tingkat kecamatan. Lewat Al Quran digital, ia belajar menghafal hingga saat ini sudah hafal lima juz.
Ia pun tak pernah memandang dirinya buta sehingga terus bersemangat menjalani hidup dan bercita-cita menjadi seorang peneliti.
Komentar