Banda Aceh, jurnalsumatra.com – Gubernur Aceh Nova Iriansyah meminta Majelis Adat Aceh (MAA) mewujudkan kebesaran adat dalam keseharian masyarakat, antara lain karena sejalan dan mengandung nilai syariat Islam.
“Ini bertujuan mewujudkan masyarakat Aceh yang santun, damai, cerdas dan berakhlak mulia serta menjauhi sikap dan perilaku intoleran, fitnah, dan adu-domba,” kata dia di Banda Aceh, Senin (10/5).
Pernyataan itu disampaikan di sela-sela acara Pengukuhan Pengurus MAA masa bakti 2021-2026 yang dilakukan Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haytar di Anjong Mon Mata Gubernur Aceh.
Meraka yang dikukuhkan tersebut, masing-masing Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, M.A. sebagai ketua MAA, Tgk. Yusdedi sebagai wakil ketua I, dan Syech Marhaban sebagai wakil ketua II.
Pemerintah Aceh memberi perhatian khusus terhadap perkembangan dan pelestarian adat Aceh, salah satunya “Aceh Meuadab”. Program tersebut merupakan upaya mengembalikan khitah Aceh sebagai “Serambi Mekkah” melalui implementasi nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari.
“Ajaran Islam menjiwai dan memberikan spirit yang tinggi bagi pelaksanaan adat Aceh, dan tidak ada benturan antara adat Aceh dengan syariat Islam,” kata Nova.
Ia menjelaskan di era perkembangan teknologi informasi saat ini, adat Aceh perlu disebarkan melalui penulisan atau naskah tertulis yang dapat dibaca oleh generasi sekarang, karena tidak efektif lagi diturunkan melalui pesan verbal.
Ia berharap, sumbangsih pemikiran pengurus MAA mampu membangun gairah orang Aceh untuk terus bekerja keras, membantu memajukan gampong dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan dan seni budaya Aceh.
“Memajukan gampong, salah satunya dengan upaya membangun semangat lembaga-lembaga adat yang telah tertuang dalam Qanun Aceh, seperti pawang glee, haria peukan, peutua seuneubok, dan keujruen blang supaya berfungsi kembali. Banyak hal lain yang harus dijawab melalui pendekatan adat,” kata dia.
Nova berharap, MAA aktif membangun jaringan komunikasi yang sinergis dengan segenap unsur pemerintahan, DPRA, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok masyarakat Aceh di manapun mereka berada.
Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haytar mengatakan pengukuhan pengurus tersebut penting sebagai langkah awal melaksanakan pelestarian, pengkajian, dan pembinaan kehidupan adat di Aceh hingga tingkat gampong.
“Pelestarian dan pembinaan kehidupan adat dan seni merupakan peradaban yang kita jalani secara turun-temurun. Masa dulu peradaban Aceh terkenal dengan adanya Qanun Meukuta Alam Al Asyi tahun 1630 masa Raja Iskandar Muda. Qanun Meukuta Alam adalah tonggak sejarah kemajuan peradaban Aceh, baik dalam bermasyarakat maupun hubungan dengan negara-negara lain di dunia,” kata dia.(anjas)
Komentar