oleh

Jatuh bangun pebisnis hijab, pernah dipecat kini omzet miliaran

“Saat itu saya jualan hanya setengah toko dan boleh berjualan hanya di hari-hari tertentu selain hari Senin dan Kamis, hari di mana toko biasanya ramai. Ketika bukan hari berjualan, barang harus dipindah ke gudang padahal saat itu saya sedang hamil muda anak pertama,” lanjut Chika.

Bukan tanpa rintangan, Chika mengatakan bagaimana ia kerap dipandang sebelah mata dan sulit mendapatkan barang importir saat awal-awal berjualan. Belum lagi nasib malang yang menimpa suami.

Arwin sang suami, yang juga seorang perantau kelahiran Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan datang ke Jakarta pada akhir 2013 dengan hanya membawa uang saku sebesar Rp300 ribu. Sesampai di Jakarta, Arwin sempat menumpang hidup di rumah salah satu sabahatnya yang memiliki usaha konveksi rumahan.

Arwin juga kerap berbohong kepada keluarga di kampung dan mengatakan bahwa ia sudah makan enak di Jakarta. “Kenyataannya saya hanya makan tempe goreng. Saya berbohong demi menyenangkan ibunda,” kata Arwin.

Sebulan menumpang dan makan seadanya di rumah kolega, perlahan usaha konveksi sahabatnya itu menurun dan hampir gulung tikar.

“Saat itu dia hampir putus asa. Tidak tahu mau buat apa lagi dan uang tinggal Rp5 juta. Saya kemudian punya ide untuk membuat kemeja. Saya tahan satu penjahitnya, lalu pergi ke penjual bahan untuk membuat kemeja. Barang habis, dapat uang Rp7 juta lalu saya putar lagi uang Rp7 juta itu sampai akhirnya konveksi tidak jadi tutup,” tambah lelaki yang besar di Kendari, Sulawesi Tenggara itu.

Setelah empat tahun berbisnis bersama sahabatnya, Arwin memutuskan untuk membuat brand fesyen sendiri dan memiliki toko di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sayang, usaha pakaiannya terpaksa gulung tikar.

Saat itu, kata Arwin, ada dua faktor utama mengapa ia mengalami kegagalan. Pertama adalah karena terlalu fokus dengan Bugis Hijab dan kedua, karena memiliki tim yang kurang kompeten di bidangnya.

“Tapi mulai saat itu, kami akhirnya berpikir untuk mengembangkan bisnis hijab yang memang memiliki pasar yang sangat besar,” tambah Arwin Burhan.

Di tengah pandemi, banyak toko-toko yang terpaksa ditutup sementara karena adanya pembatasan ruang gerak. Bugis Hijab juga mengalaminya. Penjualan di toko fisik saat pandemi diakui menurun, tapi konsumen beralih ke toko daring. Ramainya peminat di toko daring membuat mereka fokus mengembangkan pemasaran dan jual beli secara daring untuk memperluas jangkauan. Berkat online, omzet Bugis Hijab naik 50 persen dibanding sebelum pandemi.

“Kami memprioritaskan pelayanan, kualitas produk dengan harga terjangkau dan shopping experience,” kata Chika mengenai strategi bertahan di tengah badai pandemi.(anjas)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed