oleh

Hindari tindakan reaktif saat dicurhati masalah mental

“Karena kadang mereka hanya ingin didengarkan dan dipahami saja. Kalau dirasa persoalannya sangat berat dan orang itu minta bantuan kita tapi kita tidak sanggup, kita bisa sarankan untuk berkonsultasi ke profesional seperti psikolog atau psikiater untuk membantu memahami kondisinya dan menberikan treatment yang dapat membantu mengelola kondisinya,” kata dia.

Berkaca dari komentar sang presenter, memang ada kesan dia berusaha mengajak sang model tahan banting atas masalahnya dan tangguh karena dia menganggap tekanan hal wajar.

Hal ini sebenarnya rasional tetapi, menurut Tala, dari sudut pandang orang pernah yang pernah terpuruk hal ini mungkin tak mudah. Belum lagi orang-orang yang melihat aksi sang presenter tanpa tahu maksud sebenarnya lalu gemas dan berujung mengeluarkan komentar negatif padanya.

“Bagi dia mungkin hal biasa. Dia pakai logika dan rasionalnya kan. Jadi dia mewajarkan dan berharap Iline (nama model) cepat melewati itu semua. Sisi baiknya ya tetap ada, hanya saja kan enggak semua orang bisa men-switch emosi dan pikiran secepat dia (Deddy) yang sudah terlatih,” tutur Tala yang berpraktik di Klinik Mutiara Edu Sensory, Bintaro itu.
Dari sisi penutur curhat, menurut Tala, apabila dia merasa komentar sang presenter wajar maka tidak menjadi masalah, bisa jadi dia mungkin sudah benar-benar pulih dari masa lalunya.
Lain halnya bila dia ternyata komentar sang presenter justru menjadi masalah baru baginya. Ini yang perlu diwaspadai.

Stigma di masyarakat

Menurut Tala, secara umum masyarakat Indonesia saat ini masih sering menganggap tabu untuk membahas masalah mental di ruang publik meskipun sebagian orang yang tinggal di perkotaan lebih teredukasi dan menganggap wajar orang yang punya masalah dan bisa disembuhkan melalui terapi dan sebagainya.

Orang-orang yang menilai wajar ini bisanya sudah melek media informasi karena akses untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan mental sudah banyak tersedia.

Sementara di sisi lain, ada golongan masyarakat yang belum paham media informasi dan masih mengaitkan orang dengan masalah mental dengan religiusitas dan spiritualitas.

Mereka menilai orang dengan gangguan mental sulit bersyukur, tidak punya iman dan sebagainya. Kondisi ini sebenarnya sedikit banyak karena ajaran nilai-nilai dan norma-norma yang erat kaitannya dengan bagaimana orang harus bersyukur.

“Ada benarnya. Ya enggak salah namanya harapan, tapi ternyata enggak berlaku untuk orang-orang yg memang rentan stres dan depresi. Bagaimana mau bersyukur kalau pikirannya enggak fokus dan melayang kemana-mana,” tutur Tala.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed