oleh

Komisi III DPRD desak Pemprov NTB tuntaskan pemutusan kontrak GTI

Mataram, jurnalsumatra.com – Komisi III Bidang Keuangan dan Perbankan DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB segera memutuskan kontrak PT Gili Trawangan Indah (GTI) di Kabupaten Lombok Utara.

Ketua Komisi III DPRD NTB Sambirang Ahmadi mengatakan, pihaknya mendesak Pemprov NTB melalui Biro Hukum agar segera menuangkan kebijakan pemutusan kontrak PT GTI dalam bentuk surat keputusan Gubernur NTB.

“Kami minta Sekda untuk segera menuangkan kebijakan pemutusan kontrak produksi dengan PT GTI dalam bentuk SK Gubernur,” ujarnya pada rapat bersama organisasi perangkat daerah (OPD) Pemprov NTB, di Mataram, Jumat.

Menurut politisi PKS tersebut, hal itu penting untuk dijadikan perhatian dalam rangka mengantisipasi segala sesuatunya yang berkaitan dengan pemutusan kontrak PT GTI.

“Langkah-langkah antisipatif ini diperlukan bila mana ada kemungkinan gugatan balik dari PT GTI terhadap keputusan gubernur,” katanya pula.

Selain persoalan GTI, kata Sambirang, pihaknya juga mendorong Pemprov NTB melalui UPTB pemanfaatan aset daerah dan Tim Penasehat Investasi Daerah untuk membuat skema penertiban, penyelamatan, dan pemanfaatan aset daerah demi meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Terutama terhadap aset-aset yang sudah di pihak ketiga, sehingga bisa direcovery dan direvaluasi atau ditinjau ulang nilai atau harganya sesuai kondisi terkini baik secara regulatif maupun prospek ekonominya.

Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB melalui jaksa pengacara negara (JPN) merekomendasikan perubahan kontrak produksi kerja sama pengelolaan aset oleh PT GTI terkait pemanfaatan lahan seluas 65 hektare di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.

“Kontrak produksinya harus diadendum, harus diubah. Mitra (PT GTI, Red) harus tunduk dengan penyesuaian apa pun risikonya, suka tidak suka dia harus tunduk, karena kalau tidak akan berpotensi merugikan negara. Ini juga jadi perhatian teman-teman di KPK,” kata Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan.

Rekomendasi kontrak produksi tersebut, kata dia, harus diubah meskipun tidak ada klausul perjanjiannya yang bertentangan secara hukum.

Hal itu dilihat JPN dari dasar perjanjian kontraknya yang dibuat pada 12 April 1995 tersebut, masih menggunakan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 3/1986.

Sementara, ujarnya lagi, aturan itu sudah dicabut pada tahun 2001 dan diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27/2014 yang diubah lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28/2020.

Terkait hal itu, Pemprov NTB dikatakan selama ini tidak melakukan langkah konkret untuk menertibkan aset yang kini diduduki oleh sejumlah pengusaha di bidang jasa pariwisata itu.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed