oleh

Revisi UU ITE perlu pertimbangan di tengah pesatnya pengguna

Jakarta, jurnalsumatra.com – Kalangan praktisi hukum menilai revisi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) perlu sejumlah pertimbangan di tengah pemanfaatan internet yang pesat.

Hal itu mengemuka dalam webinar “Menyikapi Perubahan Undang-Undang ITE,” yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Rabu (10/3).

“Iklim di dunia cyber memerlukan etika berkomunikasi agar kebebasan pribadi tidak melanggar kebebasan orang lain,” kata Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto.

Wawan mengatakan BIN aktif melaksanakan patroli siber 24 jam guna menangkal konten-konten negatif yang merugikan kepentingan publik dan menciptakan kondisi sosial politik di Indonesia tidak stabil.

Bahkan sejumlah kerusuhan di dunia nyata dimulai dari ujaran kebencian di media sosial akibat pemanfaatan ruang digital oleh warga belum optimal untuk hal yang positif.

Tanpa disadari, kata Wawan, kritik melalui dunia Maya berujung pada pencemaran nama baik, ujaran kebencian, fitnah, doxing, hingga menyebarluaskan data pribadi seseorang ke ranah publik.

“Beberapa dari kasus tersebut di antaranya pencemaran nama baik, ancaman terhadap presiden, kerusuhan di Kendari pada 17 September 2020 dilakukan melalui media sosial,” katanya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono melaporkan laporan polisi terkait pelanggaran UU ITE terus meningkat setiap tahun.

“Pada tahun 2018 itu ada laporan polisi 4.360. Kemudian 2019 meningkat jadi 4.586. Kemudian 2020 meningkat lagi menjadi 4.790. Ini kecenderungannya laporan polisi terkait UU ITE meningkat,” katanya.

Kasus pencemaran nama baik masih mendominasi laporan di kepolisian terkait UU ITE. 2018 sebanyak 1.258 laporan, 2019 sebanyak 1.333 laporan dan pada 2020 menjadi 1.794 laporan polisi yang menyangkut pencemaran nama baik.

Urutan kedua ditempati ujaran kebencian sebanyak 238 laporan pada 2018, meningkat mencapai 247 laporan pada 2019 dan 223 laporan polisi pada 2020.

Selanjutnya terkait informasi hoaks atau kabar bohong juga mengalami hal serupa. “2018 itu 60 kasus, 2019 ada 97 kasus, dan 2020 menjadi 197 kasus yang menyangkut hoaks,” ujar Rusdi.

Jumlah tersangka atau barang bukti yang diserahkan ke kejaksaan, kata Rusdi, tidak bisa dijadikan penilaian keberhasilan kinerja Polri. Tapi, bagaimana polisi mampu mencegah tindak kejahatan, masyarakat tidak menjadi korban kejahatan dan juga mencegah munculnya pelaku kejahatan.

Lantas bagaimana polisi menyiasati situasi kekinian ketika revisi UU ITE berjalan, di sisi lain UU ini masih berlaku di masyarakat?

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed