Magelang, Jurnalsumatra.com – Seakan melepas kepenatan dari perjumpaan melalui layar daring selama pandemi COVID-19, sejumlah mahasiswa pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan seorang pengajarnya, Sutanto Mendut, menjalani cara perkuliahan sekaligus pentas seni.
Sang dosen memfasilitasi mahasiswanya berperforma seni di tempat yang dikelolanya, Studio Mendut, sekitar 100 meter timur Candi Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, akhir pekan lalu.
Beberapa pegiat seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yang dirawat Sutanto selama sekitar 20 tahun terakhir, juga dihadirkan untuk nonton pentas mahasiswa. Tak disangka oleh Tanto Mendut, seorang sahabatnya yang perupa dan “seniman nomaden”, Arahmaiani, juga datang.
Jumlah seluruh hadirin dengan menerapkan protokol kesehatan di Studio Mendut –arena terbuka untuk aktivitas seni-budaya yang artistik dan bernuana alami–, Jumat (5/3), tak lebih dari 30-an orang.
Tentu saja sang dosen dengan cara bebas dan terbuka memimpin perkuliahannya.
Dijelaskannya bagian materi utama mata kuliah, Seni dan Lingkungan Dimensional. Guyonan mewarnai kental Tanto Mendut yang juga budayawan Magelang tersebut. Saat berbicara dalam jam kuliah di hadapan mahasiswanya, seakan tak ada juntrungan.
Suasana seolah main-main, banyak tertawa. Audiensnya sambil “mengemil” juga tak dilarang. Model kuliahnya memang dibangun sang dosen secara cair di sana sini, untuk menghadirkan kreativitas, berdaya kritis dan inovatif, serta tentu saja bermuatan penghormatan terhadap kemanusiaan dan lingkungan.
Laksi Shitaresmi, seorang mahasiswinya, menggantungkan karya instalasi berupa pakaian alat pelindung diri (APD) yang biasa dikenakan petugas medis saat menangani pasien virus. Sejumlah pegiat Komunitas Lima Gunung membantunya memasang instalasi APD itu di tengah panggung terbuka Studio Mendut.
Pakaian APD itu, termasuk di bagian tempat wajah, telah dipolesnya dengan aneka bercak warna-warni fosfor. Ia beri judul instalasi seni APD-nya, “Wernane Manungso”. Kira-kira, ia hendak mengatakan tentang betapa banyak ragam warna perlindungan untuk manusia bertahan menghadapi segala tantangan.
Dua mahasiswi, Ariesta Putri Rubyatomo dan Nani Nurhayati, menyajikan performa seni berjudul Rootedness. Karya mereka berupa pentas melukisi APD dengan bahan-bahan alam yang bisa diolah untuk pewarnaan. Karya itu seakan hendak mengatakan tentang betapa disayangkan jika personalitas kehilangan lanskap keberakarannya.
Karya performa berjudul “Tandaning Mangsa” disajikan Valentina Ambarwati dan Andi Ryan Kusuma. Mereka juga melukisi APD menggunakan bahan-bahan alam untuk pewarnaan. Mereka memainkan performanya secara singkat juga dengan latar belakang instalasi seni “Wernane Menungso”.
Komentar