oleh

Mencari solusi konflik nelayan di Bengkulu

Bengkulu, jurnalsumatra.com – Perselisihan dua kelompok nelayan di Bengkulu yaitu nelayan tradisional dan nelayan pukat harimau (trawl) sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Dalam beberapa kejadian, konflik dua kelompok ini bahkan berujung anarkis hingga menyebabkan korban luka.

Ibarat jaring yang tergulung ombak besar, persoalan dua kelompok nelayan ini semakin hari semakin kusut dan sulit terurai. Padahal, salah satu akar persoalannya adalah perbedaan alat tangkap dalam mengais rezeki di lautan.

Kelompok nelayan tradisional mengecam penggunaan alat tangkap pukat harimau yang banyak digunakan nelayan di Kecamatan Kampung Melayu, Bengkulu, karena dianggap tidak ramah lingkungan dan berimbas pada pengurangan hasil tangkapan ikan nelayan tradisional.

Sedangkan kelompok nelayan lainnya meminta pemerintah membebaskan mereka menggunakan alat tangkap pukat harimau dalam mencari rezeki di lautan.

Perbedaan penggunaan alat tangkap itu bahkan membuat kedua kelompok nelayan ini beberapa kali terlibat pertikaian saling serang baik saat di laut dan juga saat di daratan.

Upaya persuasif yang dilakukan pemerintah selama ini untuk mendamaikan kedua kelompok nelayan nampaknya belum membuahkan hasil. Perjanjian-perjanjian yang dibuat kedua kelompok untuk tidak saling ganggu wilayah tangkapan dan tidak menggunakan pukat harimau tak digubris.

Upaya penegakan hukum pun sudah dilakukan. Polisi menangkap beberapa pengguna alat tangkap trawl dan menyeretnya kemuka persidangan. Namun persoalan tak berhenti. Dua kelompok nelayan yang semula bertikai di laut, kini bertikai soal hukum.

Penegakan hukum
Tidak kurang lima ratusan polisi lengkap dengan atribut standar pengamanan, Selasa (22/02) disiagakan disepanjang Jalan S Parman, Kelurahan Padang Jati, Bengkulu, guna mengamankan jalannya persidangan di Pengadilan Negeri Bengkulu dalam perkara penyalahgunaan alat tangkap pukat harimau.

Suasana bertambah tegang saat enam mobil lapis baja berukuran besar milik polisi, di antaranya meriam air dan mobil pengurai massa disiagakan di pangkal dan ujung jalan itu guna menghadang dua kelompok nelayan agar tidak mendekat ke PN Bengkulu.

Di dalam gedung pengadilan, majelis hakim yang diketuai Abdul Hanif menggelar sidang lanjutan terhadap empat orang terdakwa pemilik kapal pukat harimau. Sidang itu digelar secara virtual.

“Dilakukan secara virtual jadi keempat terdakwa tidak disini tetapi tetap di lapas. Ini dilakukan untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kerusuhan,” kata Humas PN Bengkulu, Hascaryo.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed