Sementara itu, katanya, Eropa bisa mencapai 15-20 buku per tahun, Amerika Utara bisa 25 buku setahun. Artinya Indonesia mengalami ketertinggalam jauh.
“Jadi jangan menghakimi anak-anak Indonesia di sisi hilir yang rendah budaya baca, tetapi ini dikarenakan tidak disiapkannya buku yang beredar di masyarakat. Siapa yang bertanggung jawab memastikan adanya peredaran buku di masyarakat. Ini adalah tugas penyelenggara negara. Tapi penulis dan penerbit buku juga harus bisa menyesuaikan kebutuhan masyarakat di berbagai tempat yang tidak sama kebutuhannya,” katanya.
Pada 2021, Perpusnas fokus membicarakan persoalan literasi di sisi hilir dan hulu. Sisi hilir hasil survei rendah budaya baca dan mengakibatkan rendah literasi. Akhirnya parameter dunia menilai daya saing global Indonesia dan income per kapitanya rendah.
Sisi hulu, yakni peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta komponen bangsa, bertugas mencerdaskan bangsa. Buku sudah jadi kebutuhan pokok karena menjadi pemicu memenuhi kebutuhan pokok lainnya.
Perpustakaan nasional di seluruh dunia dianggap sebagai sumber informasi.
“Kita semua dibangun sebagai jantung pendidikan dan menjadi jembatan ilmu pengetahuan. Institusi itu dibangun 2014. Maka fungsi kami adalah bagaimana masyarakat mendapat informasi. Di 2021 ini kami menjadikan Perpusnas ini sebagai universitas zoom dengan berpelanggan 10.000 kuota orang setiap membuat acara dengan mengundang berbagai rektor, menteri, dan narasumber lainnya. Sementara saya hanyalah pustakawan yang menyinergitas serta hadirkan orang-orang profesional,” katanya.
Tantangan utama Perpusnas saat ini, menyakinkan generasi milenial membutuhkan ilmu pengetahuan agar mampu menghasilkan barang dan jasa yang bermutu di masa mendatang. Generasi milenial tidak boleh menjadi generasi internetan yang hanya berselancar di gelombang, dengan penuh ketidakpastian dan pengetahuan yang dangkal.
“Milenial harus banyak membaca. Semua negara maju yang kita banggakan itu semuanya berproses yang berliku panjang yang dibangun oleh orang-orang berpengetahuan tingkat literasinya mumpuni dan bisa menatap masa depan yang terus berputar dengan cepat. Inilah perlunya transformasi perpustakaan berbasis inklusi, yakni versus eksklusif,” katanya.(anjas)
Komentar