Sleman, jurnalsumatra.com – Berbicara tentang seni budaya, tentu tidak bisa lepas dari sebuah pergelaran atau pementasan pertunjukan yang mengundang khalayak penikmat dalam jumlah banyak.
Sejak zaman dahulu, selain sebagai hiburan rakyat, pertunjukan seni budaya banyak digunakan sebagai media mengundang khalayak untuk kepentingan tertentu, bahkan sampai untuk kepentingan politik.
Masing-masing karya seni budaya tentunya juga memiliki kelompok penggemar, baik yang hanya sekadar penikmat sebagai penghilang penat, hingga penggemar fanatik.
Pertunjukan seni budaya juga memiliki andil yang tidak kecil dalam menggerakkan ekonomi masyarakat, selayak pasar tiban di sekitar lokasi pertunjukan.
Tak sedikit lapak-lapak pedagang yang dibangun di sekitar panggung pertunjukan dengan menawarkan berbagi barang dan jasa, menjemput konsumen dari para penonton pertunjukan, mulai dari pedagang makanan, pedagang pakaian hingga mereka yang menawarkan jasa parkir kendaraan. Semua berupaya menjaring rezeki dari para penonton dan menghadirkan kemeriahan pesta rakyat.
Namun ketika bencana non-alam pandemi COVID-19 mulai masuk ke Indonesia pada sekitar Maret 2020, kemeriahan pesta rakyat tersebut menjadi lumpuh, bahkan mati suri.
Gelaran seni budaya pesta rakyat yang mengundang banyak penonton sesuai aturan protokol kesehatan jelas tidak bisa diselenggarakan untuk mencegah penyebaran dan penularan COVID-19.
Sejumlah kelompok seni budaya di Sleman juga tidak luput dari terhentinya pementasan, terutama atraksi seni budaya non-panggung, seperti pentas kesenian “jatilan” atau kuda lumping, badui, tari topeng “gedruk” dan lainnya.
Hampir semua jenis pentas seni budaya tersebut memilik magnet luar biasa untuk mengundang penonton. Bahkan, penonton kesenian tersebut dapat dikatakan selalu memadati batas “kalangan” (pagar semacam ring tinju) untuk menyaksikan langsung atraksi seni yang disuguhkan.
Jarak antara pemain atau penari yang pentas dengan penonton begitu dekatnya, bahkan antarmereka kadang terlibat interaksi.
Doni, Pimpinan Kelompok Jatilan Turonggo Buono dari Dusun Brayut, Pendowoharjo, Kabupaten Sleman, menyebutkan bahwa kesenian jatilan nyaris mustahil dipentaskan tanpa adanya penonton yang dapat melihat dekat dengan penari.
Para penonton sengaja ingin menyaksikan atraksi para penari saat mereka sedang ndadi atau proses saat penari kerasukan. Dalam proses ini yang ditunggu penonton adalah aksi-aksi tarian yang eksotis dan magis yang mengundang rasa penasaran penonton.
Para penari ini berjoget dengan iringan gamelan berupa tiga buah bende yang dipadukan dengan tabuhan gendang yang kadang dikombinasi dengan alat musik drum menampilkan gerakan-gerakan sesuai dengan karakter yang merasukinya.
Komentar