Kendari, jurnalsumatra.com – Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra), pihak pemohon dari pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Muna nomor urut 2 LM Rajiun Tumada-La Pili menggugat di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan nama paslon nomor urut 1 LM Rusman Emba-Bahrun Labuta.
Kuasa Hukum LM Rajiun Tumada-La Pili, Andi Syafrani dalam sidang gugatan hasil Pilkada 2020 di MK, Rabu, mengatakan perbedaan penulisan nama secara hukum tidak memiliki konsekuensi dalam artian harus ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan.
“Sedangkan perubahan nama menurut ketentuan hukum baik itu dari undang-undang maupun ketentuan yang ditetapkan oleh KPU sebagai syarat dalam proses pencalonan, mensyaratkan adanya ketetapan pengadilan,” kata Andi dikutip dari akun Youtube Mahkamah Konstitusi, dari Kendari, Rabu.
Oleh karena itu, pihaknya menganggap hal tersebut adalah sebuah cacat hukum bawaan yang berakibat pada cacat hukum hasil Pilkada Muna.
“Adapun fakta-fakta hukum yang kami sampaikan Bapak Muhammad Rusman Untung tanpa diketahui kapan mengubah namanya setelah menuliskan namanya di KTP maupun di berbagai macam dokumen yaitu dengan nama La Ode Muhammad Rusman Emba,” ujarnya.
Ia menyampaikan, hal tersebut diketahui belakangan bahwa ada putusan pengadilan yang ditetapkan pada tanggal 24 September tahun 2020 dimana hal itu satu hari setelah SK termohon tentang penetapan pasangan calon.
“Di dalam putusan pengadilan tersebut barulah diketahui adanya perubahan nama dari La Ode Muhammad Usman Untung menjadi La Ode Muhammad Rusman Emba,” tutur Andi.
Pihaknya menilai KPU tidak melakukan proses pengecekan terkait dengan perubahan nama tersebut, padahal diketahui berdasarkan Surat Ketetapan KPU, lanjut dia, proses perubahan nama harus ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan.
Dalam proses penetapan SK terkait dengan pasangan calon pemohon pada saat itu ditetapkan secara berbeda waktunya dengan pihak terkait.
Kata dia, pihak terkait ditetapkan beberapa hari sebelumnya yaitu pada tanggal 23 September 2020, sedangkan pemohon ditetapkan oleh KPU pada tanggal 1 Oktober 2020 karena alasan pemohon pada waktu itu diduga terkena COVID-19.
Ia menyampaikan, karena adanya perbedaan waktu tersebut, maka pihaknya secara hukum tidak dapat mengajukan mekanisme sengketa pemilihan di Bawaslu dalam rangka untuk meminta pembatalan SK KPU terkait dengan penetapan pihak terkait.
“Hal ini didasarkan karena perbedaan waktu, yang kedua juga berdasarkan pasal 3 peraturan Mahkamah Agung Nomor 11 tahun 2016 dimana di dalam pasal tersebut disebutkan yang mempunyai ‘legal standing’ hanyalah pasangan calon bukan bekal pasangan calon,” ucap dia.
Komentar