oleh

Pemberdayaan perempuan dan peningkatan gizi keluarga

Makassar, jurnalsumatra.com – Peringatan Hari Gizi Nasional ke-61 yang jatuh pada 25 Januari 2021, mungkin hanya sedikit yang tahu bahkan mungkin tidak ingin tahu dengan persoalan gizi ini.

Padahal gizi sangat penting dalam tumbuh kembang seorang anak yang notabene akan menjadi generasi pelanjut bangsa.

Tak heran jika persoalan gizi ini juga merembet pada peran seorang ibu, perempuan dalam komunitas keluarga sebagai organisasi terkecil dalam suatu negara.

Keutamaan gizi akan menjadi penentu kesehatan, sehingga muncul semboyan kuno asal Yunani terkait masalah kesehatan bahwa “Dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat”.

Tentu saja kesehatan menjadi hal mutlak yang harus diperhatikan oleh individu ataupun kelompok untuk mencapai derajat kesehatan melalui campur tangan pemerintah dan masyarakat.

Sementara untuk mengukur derajat kesehatan itu, menurut Pakar Gizi dari Universitas Hasanuddin, Makassar Prof DR Razak Thaha, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) ada empat indikator yakni Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), Umur Harapan Hidup (UHH) dan Status Gizi.

Dalam pelaksanaan di lapangan, empat indikator itu dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu perilaku masyarakat, lingkungan, pelayanan kesehatan dan faktor genetika.

Menelaah empat faktor tersebut, di Indonesia, khususnya di Sulsel seperti halnya kota-kota besar lainnya mengalami kompleksitas yang memperhadapkan masyarakat dengan beban ganda persoalan gizi di lapangan, karena di satu sisi menghadapi gizi kurang dan di sisi lain menghadapi gizi lebih (obesitas).

Terlebih lagi, beban masyarakat bertambah dengan adanya pandemi COVID-19, sehingga persoalan gizi ini kerap terabaikan.

Hal itu dibenarkan Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Selatan Hj Andi Ritamariani.

Dia mengatakan pandemi COVID-19 dan bencana alam sangat mempengaruhi kondisi gizi keluarga di Sulsel maupun Sulbar yang sebelumnya merupakan satu provinsi sebelum pemekaran.

Menurut dia, persoalan gizi tidak terlepas dengan persoalan kekerdilan (Stunting) yang pada saat pandemi maupun bencana akan sangat terpengaruh, karena adanya keterbatasan kelompok keluarga prasejahtera dalam memenuhi kebutuhan gizi keluarganya

Berkaitan dengan hal tersebut, perbaikan gizi keluarga akan membantu menekan angka stunting (kekerdilan) yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi seseorang.

Perkembangan stunting di Sulsel dari tahun ke tahun cukup fluktuatif yakni 34,1 persen (2015); 35,7 persen (2016); 34,8 persen (2017); 35,6 persen (2018). Dan, terakhir pada tahun 2019 turun 5,1 persen sehingga menjadi 30,5 persen.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed