oleh

KPAI apresiasi upaya kaji ulang aturan diskriminatif di sekolah

Hal itu salah satunya dicontohkan terjadi di Bali pada 2014, dalam kasus pelarangan penggunaan jilbab di beberapa sekolah seperti SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar. Selain itu pada Juni 2019, surat edaran di Sekolah Dasar Negeri 3 Karang Tengah, Gunung Kidul, Yogyakarta, juga menimbulkan kontroversi karena mewajibkan siswanya mengenakan seragam Muslim.

Intoleransi juga tercatat terjadi di SMAN 8 Yogyakarta karena kepala sekolahnya mewajibkan siswanya untuk mengikuti kemah di Hari Paskah. Protes yang dilakukan sebelumnya oleh guru agama Katolik dan Kristen tidak ditanggapi oleh kepala sekolah yang pada akhirnya mengubah tanggal perkemahan setelah ada desakan dari pihak luar.

Dari berbagai kasus intoleransi dan diskriminasi yang terjadi di sekolah, Retno mengatakan bahwa KPAI mendorong pengarusutamaan nilai-nilai kebhinekaan di sejumlah sekolah negeri.

“Sekolah harus menjadi tempat strategis membangun kesadaran kebhinekaan dan toleransi,” katanya.

Ia mendorong sejumlah upaya yang bisa dilakukan, antara lain dengan peningkatan kapasitas kepala sekolah, guru-guru, termasuk pejabat di dinas pendidikan atau kementerian pendidikan.

Retno juga mengatakan bahwa partisipasi orang tua murid untuk memastikan agar anak-anak mereka tidak mengalami diskriminasi atau mengambil jalan pemahaman yang intoleran juga diperlukan.

“Mereka bisa melaporkan kasus-kasus diskriminasi kepada lembaga pengawas eksternal seperti ombudsman atau organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu ini. Bisa pula memaksimalkan peran forum guru. Forum guru bisa menjadi tempat di mana mereka bisa bersama-sama mencari solusi membangun nilai-nilai toleransi,” demikian kata Retno.(anjas)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed