oleh

Menyoal fenomena pengurangan hukuman koruptor di tingkat PK

Dikhawatirkan dengan banyaknya para koruptor mengajukan upaya hukum PK akhir-akhir ini, pihak MA seharusnya dapat membacanya sebagai fenomena yang harus menjadi perhatian khusus.

Awasi sidang PK
Dengan adanya fenomena ini, Kurnia Ramadhana berpendapat KPK harus turun tangan dengan mengawasi tiap persidangan PK pada masa yang akan datang.

Tidak hanya terhadap KPK, ICW juga meminta MA mengevaluasi penempatan hakim yang menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi. Komisi Yudisial juga diminta aktif melihat potensi pelanggaran kode etik hakim dalam sidang PK perkara korupsi.

Pesan yang serupa juga datang dari KPK. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango meminta MA konsisten dalam memutus kasus korupsi, apalagi hampir setiap perkara korupsi berlanjut ke upaya hukum banding, kasasi, hingga peninjauan kembali.

Dalam kaitannya dengan soal konsistensi ini, kami berharap sebenarnya ada sikap konsisten nanti pada tingkat Mahkamah Agung. Jadi harapannya konsistensi itu justru yang harus dipegang di tingkat Mahkamah Agung, harap Nawawi.

Kewenangan dan superioritas MA
Atas semua sorotan itu, MA menegaskan bahwa pengurangan hukuman terhadap terpidana korupsi merupakan kewenangan penuh hakim yang mengadili perkara tersebut.

Ketua MA Muhammad Syarifuddin mengatakan bahwa kewenangan hakim tersebut tidak dapat diganggu gugat, bahkan oleh dirinya sekalipun.

Dia berharap kejadian ini tidak dianggap sebagai fenomena yang berlebihan, karena jumlah terpidana korupsi yang mendapatkan pengurangan masa hukuman melalui PK tidak banyak.

Ketua MA ini menjelaskan publik hanya menyoroti putusan yang dikabulkan saja. Dia mengumpamakan yang dikabulkan hanya 8 persen dan yang ditolak 92 persen. “Jadi kalau yang diberitakan itu yang 92 persen mungkin tidak menjadi masalah. Cuma karena yang diberitakan yang 8 persen, ya jadi begitu,” ujar dia.

Sementara itu, Gerakan Reformasi Hukum juga menanggapi banyaknya sorotan terhadap keputusan MA soal pengurangan masa hukuman terpidana korupsi.

Ketua Harian Ormas Gerakan Reformasi Hukum Zulfikri Zein Lubis mengaku bingung terhadap alasan sejumlah pihak yang mempertanyakan keputusan MA tersebut. Pasalnya, MA memang memiliki kewenangan untuk memotong hukuman seseorang.

“Kalau memang upaya memotong dan menambah hukuman seseorang itu dianggap tabu, kenapa tidak direvisi saja UU MA. Lakukan perubahan agar dalam UU MA itu disebutkan bahwa Lembaga MA hanya berhak menguatkan putusan hukum sebelumnya bagi seorang terpidana,” kata Zulfikri.

Atau dengan kata lain Lembaga MA bukanlah benteng terakhir bagi pencari keadilan. Namun merupakan tempat untuk menambah hukuman bagi seorang terpidana, tambah dia.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed