Semarang, jurnalsumatra.com – Pada musim hujan di tengah pandemi COVID-19 seperti sekarang ini adalah saat yang tepat untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan pekarangan rumah dengan menanam tanaman yang bermanfaat, setidaknya bagi keluarga.
Selagi orang punya banyak waktu di rumah akibat wabah virus corona, urban farming (pertanian perkotaan) menjadi salah satu kegiatan favorit masyarakat, bukan hanya di Indonesia, melainkan di seluruh dunia.
“Ini langkah awal yang bagus untuk menciptakan ketahanan pangan masa depan,” kata Dian Armanda, kandidat doktor dari Institute of Environmental Science, Leiden University, Belanda, kepada ANTARA di Semarang, Sabtu (2/1).
Di sisi lain, luasan lahan pertanian konvensional secara global terus tergerus. Ditambah lagi, ledakan jumlah penduduk membuat banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi permukiman.
Hal ini jelas makin menekan jumlah produksi pangan yang dihasilkan. Oleh karena itu, peneliti dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang ini memandang perlu ada terobosan lain untuk pemenuhan pangan masa depan.
Jika pada Tahun 1960—2000 terobosan itu dilakukan dengan intensifikasi masif pertanian melalui revolusi hijau, saat ini innovative urban farming (pertanian perkotaan inovatif) adalah jawabannya.
Hasil riset Dian dalam jurnal internasional Global Food Security (September, 2019) menunjukkan bahwa urban farming kian menjanjikan. Hal ini ditinjau dari segi aspek potensi produksi global, keragaman pangan yang dihasilkan, potensi luasan lahan, dan jumlah praktisi yang terlibat.
Riset yang mengambil sejumlah sampel lokasi urban farming komersial di Asia, Amerika, dan Eropa itu memperlihatkan bahwa sistem pertanian perkotaan ini bisa meningkatkan sumber pangan dengan efektif dan efisien.
Urban farming aerofarm di kawasan kota New Jersey, Amerika Serikat, misalnya, mampu menghasilkan panen sayur hingga 140 kilogram per tahun per meter persegi lahan dengan teknik aeroponik indoor vertikal.
Bahkan, kapasitas produksinya bisa mencapai 100 kali lebih banyak daripada pertanian konvensional dengan konsumsi air cuma sepersepuluhnya.
Innovative urban farming, menurut Dian, cukup ramah lingkungan. Inovasinya membuat aspek perawatan dan sumber daya yang dipakai menjadi minimalis namun dapat menghasilkan panen yang maksimal.
Sejak 2010 terobosan teknologi innovative urban farming, seperti hidroponik, akuaponik, aeroponik, vertical farming, indoor farming, dan precision farming makin berkembang secara global.
Gaya hidup baru berkebun urban skala hobi maupun rumahan untuk subsisten (pemenuhan kebutuhan sendiri) makin marak. Demikian pula, dengan kebun urban skala komersial. Banyak bermunculan perusahaan urban farming berupa pabrik sayuran di tengah kota di berbagai belahan dunia.
Komentar