Jakarta, jurnalsumatra.com – Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) belum mengandung terobosan fundamental untuk memperkuat desentralisasi fiskal dan otonomi daerah, bahkan sejumlah ketentuan di dalamnya berpotensi mendistorsi perekonomian daerah.
“Pajak-pajak besar, seperti pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) belum dilihat sebagai bagian untuk memperkuat desentralisasi fiskal dan otonomi daerah,” kata Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman saat menjadi narasumber dalam dialog bertema “Desentralisasi Fiskal & RUU Hubungan Pusat dan Daerah” pada Senin, berdasarkan keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Meskipun RUU tersebut melakukan simplifikasi jumlah pajak, lanjut Armand, revisi atas UU Pajak dan Retribusi itu masih menyasar pajak-pajak yang selama ini tidak terlalu berdampak besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
Selain Armand Suparman, diskusi itu turut dihadiri beberapa narasumber lain, seperti Kepala Badan Keahlian DPR RI Inosentius Samsul, Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyaprathama, dan sambutan oleh Wakil Ketua Umum DPN Apindo Suryadi Sasmita.
Menurut Inosentius, RUU HKPD mengandung beberapa perubahan, seperti nomenklatur hingga tarif dalam perubahan pajak alat berat. Pajak bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), dan pajak hiburan.
“RUU HKPD merupakan reformasi regulasi yang masih berlanjut dengan tujuan menyatukan benang merah terhadap regulasi selama ini,” jelasnya.
Sementara itu dalam sambutannya, Suryadi Sasmita mengemukakan perizinan yang dikeluarkan untuk pengusaha di daerah masih terbilang sulit.
“Otonomi daerah yang diberikan selama ini belum dapat menarik investor lebih banyak. Selain itu, masih banyak perda bermasalah di daerah sehingga masing-masing pemda diharapkan bersatu untuk dapat meningkatkan investor, baik dalam dan luar negeri,” ungkap Suryadi.
Di sisi lain, Siddhi Widyaprathama menambahkan masih banyak keluhan pengusaha terkait aturan yang berbeda di setiap daerah. Contohnya, terkait pajak film bioskop di Jakarta yang mengenakan tarif 10 persen, di Kabupaten Bantul (DIY) 30 persen, dan beberapa daerah lainnya sebesar 20 persen. Dengan demikian, ada penambahan beban administrasi bagi dunia usaha.
Untuk itu, ia berharap penentuan tarif pajak dan retribusi daerah sepatutnya berbasis kajian, melibatkan stakeholder, dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan (UU Cipta Kerja atau putusan Mahkamah Konstitusi) sehingga dapat meningkatkan sistem investasi dan kemudahan berusaha.
Komentar