Jakarta, jurnalsumatra.com – Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah berdampak terhadap peta politik global secara signifikan. Internet telah melahirkan revolusi informasi dan sifat kekuasaan negara. Dari hard power yang bertumpu pada pemaksaan, lalu soft power yang bertumpu pada agenda framing, dan persuasi, dan sekarang menjadi cyber power yang bertumpu pada komunikasi dan informasi berbasis elektronik dan komputer (Nye: 2013).
Aktor-aktor non-negara bermunculan di dunia siber. Mereka dapat menjadi kekuatan ancaman. Ini terjadi karena sifat dunia siber yang mudah diakses, murah, anonimitas, dan gampang dipelajari.
Kerentanan sistem internet memungkinkan serangan terhadap negara di ranah siber. Serangan siber terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari menghancurkan dan mencuri data, hingga mengendalikan senjata dan infrastruktur sebuah negara atau perusahaan.
Banyak serangan siber telah diluncurkan dalam beberapa dekade terakhir untuk tujuan politik, ideologis, militer, dan ekonomi. Serangan ini menggunakan berbagai jenis senjata: virus, worm, Trojan horse, ransomware, operasi penolakan layanan (DDoS) dlsb. Meski senjata-senjata ini diukur dalam kilobyte, tapi sangat efektif dan dapat menimbulkan kerusakan parah dan kerugian yang banyak.
Pada masa pandemi COVID-19 sekarang ini, serangan siber semakin intensif. Trend Micro Research pada September 2021 melaporkan bahwa serangan siber, seperti ransomware semakin intensif dan canggih. Sektor pemerintahan menjadi target utama disusul sektor perbankan, kesehatan, dan makanan.
Ransomware “Ryuk” menyerang Volue, perusahaan teknologi energi terbarukan Norwegia pada 5 Mei 2021. Puluhan terabyte data perusahaan terenkripsi otomatis. Volue menutup seluruh fasilitas pelayanan dan menghentikan operasi untuk sementara. Fasilitas pengolahan air dan air di 200 kota ditutup. Pasokan gas dihentikan. Kepanikan publik meluas. Lebih dari 85 terpengaruh populasi penduduk Norwegia terpengaruh. Negara menyatakan keadaan darurat.
Selang dua hari, perusahaan distribusi jalur pipa minyak Amerika Serikat, Colonial Pipeline, diretas oleh ransomware “DarkSide”. Setengah wilayah Pantai Timur Amerika mengalami kelangkaan bensin, solar dan bahan bakar jet selama, panic buying terjadi. Gubernur Georgia menyatakan keadaan darurat. Colonial membayar 75 Bitcoin (5 juta dolar AS) kepada peretas.
Kedua contoh di atas menunjukkan betapa daya rusak serangan siber, seperti ransomware “Ryuk”, “DarkSide” dan sejenisnya, ini sangat luar biasa. Meskipun objek yang diserang bukan entitas negara secara langsung tapi berpengaruh terhadap stabilitas sebuah negara secara keseluruhan.
Komentar