oleh

Muktamar Ke-34 NU: Menghindari The Lost Generation

Nama-nama seperti Said Agil Husin Al Munawar, As’ad Said Ali, Masdar Farid Mas’udi, Nasaruddin Umar, Said Aqil Siradj, adalah contoh para pengabdi kiai. Kebiasaan, kegemaran dan ketulusan mengabdi, terbagun sejak belia, sejak di keluarga, ranting hingga pengurus pusat. Hal ini jamak dialami semua nahdliyin–warga NU. Jaringan santri dengan kiainya di sudut-sudut kampung, adalah entitas kecil NU paling bawah. Ikatan Cinta dunia akhirat.

Itulah kenapa suka muncul adagium, NU adalah oraganisasi keagamaan dan kemasyarakatan/keumatan. Urusannya agama dan umat. Umat itu urusannya dunia akhirat. Maka jalinan batin antara kiai, ulama, habaib, dengan umatnya di NU, berlangsung dunia akhirat. Kalau ada pasangan berjanji sehidup semati, maka hubungan ulama dengan umat tak terputus karena ajal. Lihatlah, betapa tahlilan, manaqiban, barzanjian, diba’an, yasinan, istighotsah, sholawatan, maulidan, selalu ramai. Itulah ajang temu dua alam, dunia dan barzakh.

Kelahiran 1950-an
Karena kepentingan dua alam itulah, maka NU, insyaallah, akan selalu ada hingga kiamat. Paling tidak, nilai dan ajarannya akan terus dijaga dan terjaga, lewat jaringan umat, terutama kader. Di tangan para kader, regenerasi dijamin bisa tetap terjaga. Pada setiap kurun, NU selalu menyediakan kader dengan jumlah yang melimpah. Lihatlah! Ketika Gus Dur lengser, kalangan luar NU cemas akan penggantinya.

Tapi terbukti, satu lapis di bawah Gus Dur, sudah muncul nama-nama yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. KH A Hasyim Muzadi, contohnya. Di era Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi banyak nama sekaliber muncul. Sebutlah Achmad Bagdja (DPA), M Rozy Munir (Menneg BUMN), Muhyiddin Arubusman (DPR). Nama lain adalah Ichwan Syam, Abduh Paddare, Anwar Nuris, Tosari Widjaja, Fahmi D Saifuddin, Cecep Syarifuddin, Manarul Hidayat, A Wahid Zaini, Mustofa Zuhad Mughni, Fajrul Falaakh, Endang Turmudi, Malik Madany, dan lain-lain.

Mereka sudah purna tugas dan sebagian besar sudah wafat. Bahkan, lapisan selanjutnya, generasi saat ini, pergerakannya mulai terbatas karena faktor usia. Beberapa kader seangkatan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, sudah tidak lagi terlibat secara struktural. Sebagian berada di posisi A’wan, tapi sebagian besar lainnya sudah membaur di tengah-tengah umat atau kembali ke dunia pesantren.

Berikut sejumlah nama kader yang lahir pada dasawarsa 50-an, di antaranya As’ad Said Ali (19 Desember 1949), Said Aqil Siradj (3 Juli 1953), Masdar Farid Mas’udi (1954), M Maksum Machfoed (23 Juni 1954), Ali Maschan Moesa (1 Januari 1956), Andi Muawiyah Ramly (10 Oktober 1957), Mohammad Mahfud MD (13 Mei 1957), Masykuri Abdillah (22 Desember 1958), Mohammad Nuh (17 Juni 1959), Mutawakkil ‘Alallah (22 April 1959), Nasaruddin Umar (23 Juni 1959), dan Mohammad Fajrul Falaakh (2 April 1959).

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed