oleh

Ukiran Kamoro, seni rupa khas pesisir Mimika

Mimika, jurnalsumatra.com – “Di Kampung Miyoko, (usia) 13 tahun sudah pegang pahat,” celetuk Agustinus Waupuru, warga asli suku Kamoro.

Miyoko adalah nama kampung tempat suku Kamoro tinggal, letaknya di pesisir selatan Kabupaten Mimika, Papua.

Suku Kamoro dianugerahi sejumlah warisan budaya leluhur, salah satu yang terkenal adalah seni ukir kayu.

Agustinus seolah ingin menegaskan bahwa regenerasi pemahat suku Kamoro yang masih berjalan baik walaupun sudah melalui rangkaian zaman berbeda.

Saat ditemui ANTARA, bapak lima anak itu tengah menunggui sejumlah ukiran kayu yang dijualnya di Pasar Lama Timika, Mimika.

Kebetulan, sedang ada kegiatan usaha mikro kecil menengan (UMKM) di lokasi itu untuk menyambut Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua.

Mimika adalah salah satu daerah PON Papua diselenggarakan, selain Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Merauke.

Kalau tak ada turnamen ini, Agustinus biasanya memasarkan ukirannya di depan jalan kampungnya yang pasti terlewati  kendaraan yang hendak menuju Pelabuhan Poumako, Mimika.

Raut wajah pria berusia 40 tahunan itu terlihat ramah saat bertutur sedikit banyak tentang seni ukiran kayu yang menjadi warisan budaya leluhurnya.

Motif ukirannya sangat beragam, tetapi kebanyakan tak jauh dari rupa manusia, hewan, dan tanaman yang ada di Bumi Cenderawasih.

Hanya saja, setiap bentuk ukiran memiliki nama sendiri-sendiri, misalnya yamate untuk perisai, wemawe yang merupakan patung orang, po (dayung), atau eme (gendang).

Di antara deretan ukiran kayu yang dipajang, ternyata tak semuanya kreasi Agustinus. Ada banyak karya perupa Kamoro dengan berbagai macam bentuk.

Karya Agustinus yang dibawanya kali ini berupa patung perempuan hamil berkepala burung cenderawasih berukuran kecil, sekitar 25 centimeter.
Garis keturunan

Soal motif ukiran, setiap garis keturunan Kamoro ternyata memiliki motif khas ukiran masing-masing yang tidak boleh ditiru oleh garis keturunan lain.

Lama pengerjaan setiap ukiran kayu juga bervariasi, tergantung ukuran dan rumitnya motif. Biasanya, Agustinus mengerjakan 1-2 hari untuk ukiran kecil.

Yamate itu 4 hari (pengerjaan), kalau wemawe sampai satu minggu,” jelas dia, sembari menunjuk wemawe, patung berbentuk manusia berukuran 2 meteran.

Sembari bercerita, sesekali terlihat rona merah di sela gigi Agustinus yang berasal dari sisa kunyahan buah pinang. Pinang di Papua memang sudah dianggap layaknya camilan.

Satu lagi, kalau biasanya ukiran kayu dipoles akhir menggunakan bahan seperti pernis atau politur, Agustinus memilih menggunakan oli sesuai anjuran sesepuhnya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed