Jakarta, jurnalsumatra.com – Tahun 2021 menjadi tahun duka bagi banyak pihak. Pada Jumat (2/7), giliran dunia arkeologi Indonesia yang berduka setelah ditinggal berpulang oleh salah satu tokoh pentingnya, Profesor Mundardjito.
Mundardjito atau akrab dipanggil dengan sapaan Pak Otti itu oleh para muridnya, lahir di Bogor pada 8 Oktober 1936. Ia memulai kiprahnya di dunia arkeologi dengan memasuki Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1956.
Selepas menyelesaikan pendidikan strata satunya pada 1963, Mundardjito nampaknya jatuh cinta dengan dunia purbakala, yang membuatnya kemudian melanjutkan pendidikan nongelar di University of Athens, Yunani, pada kurun waktu 1969 hingga 1971, dan University of Pennsylvania, AS, pada kurun 1978 hingga 1979.
Pada kedua universitas tersebut, Mundardjito yang juga merupakan salah satu pendiri organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UI dan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) itu mempelajari mengenai kajian metodologi dan teori arkeologi. Fokus kajian yang akan menjadi bekalnya dalam memperbarui studi arkeologi di Tanah Air.
Pada 1993, Mundardjito resmi memperoleh gelar doktor dari Program Pascasarjana UI dengan disertasinya yang mengangkat pertimbangan ekologi dalam penempatan situs masa Hindu-Buddha di Yogyakarta. Lantas dua tahun kemudian, ia diangkat sebagai Guru Besar FSUI, tempat ia mengabdikan diri sebagai dosen sejak 1964.
Sosok pembaru
Ketua IAAI Wiwin Djuwita Ramelan yang juga merupakan mantan murid Mundardjito, menilai Mundadjito merupakan sosok pembaru untuk arkeologi Indonesia, terutama dengan pemikiran-pemikiran dia yang melihat arkeologi bukan sebatas kejayaan-kejayaan di masa lalu.
Akan tetapi, meluaskan bahasan kepada banyak hal seperti lingkungan, teknologi, keseharian, serta masalah-masalah sosial. Sebagai gambaran, saat itu studi arkeologi di Indonesia lebih menyoroti hal-hal besar seputar pencapaian gilang-gemilang nenek moyang.
“Sehingga evidennya (buktinya) tidak hanya candi atau bangunan-bangunan besar yang menunjukkan kejayaan, tapi dia juga memperhatikan hal-hal kecil seperti tembikar atau mata uang,” kata Wiwin saat dihubungi pada Minggu.
Semua itu, kata dia, menurut Mundadjito merupakan bukti masa lampau yang sama pentingnya dengan candi.
Setelah pembaruan yang diusung Mundardjito, studi arkeologi tidak lagi sama. Skripsi-skripsi yang dihasilkan mahasiswa program studi arkeologi lantas dapat mengulas banyak hal yang sebelumnya mungkin tidak terbayangkan.
Banyaknya peluang topik untuk diangkat dalam studi arkeologi, membuat arkeologi menjadi studi interdisiplin. Banyak pihak mengakui bahwa Mundadjito merupakan sosok penting dalam menggandeng berbagai ilmu lain untuk membantu pencarian jawaban studi arkeologi.
Komentar