oleh

Belajar kesetaraan gender dari Desa Penglipuran Bali

Jakarta, jurnalsumatra.com – Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali sudah tersohor di pelosok negeri dengan julukan desa terbersih di dunia.

Desa ini pun seringkali menjadi tujuan wisata ramah lingkungan (eco-friendly) bagi warga yang ingin merasakan sejuknya udara perdesaan yang segar, asri dan tanpa sampah.

Namun di desa ini, tidak hanya sekadar memiliki nilai dari sisi kebersihan, serta pariwisatanya. Adapun desa ini sangat menjunjung kesetaraan gender. Baik laki-laki maupun perempuan bekerja sama dalam membangun perekonomian keluarga.

Astri Widyani, salah satu penduduk Desa Panglipuran juga bekerja membuat canang sesajen untuk dijual, demi membantu suaminya yang bekerja sebagai guru honorer.

“Saat pandemi COVID-19 enggak bisa ngapa-ngapain, di rumah aja tapi dapur harus tetap ngebul. Jadi saya bikin canang, ada yang masih bisa ke ladang ya kembali ke ladang,” kata Astri.

Sebelum pandemi COVID-19, desa tersebut memang bertumpu pada pariwisata dan penjualan oleh-oleh khas Desa Panglipuran seperti aksesoris, loloh cemcem (minuman khas daun cemcem atau daun kloncing) dan tipat cantok (makanan sejenis ketupat dan sayuran rebus yang kemudian disajikan bersama dengan bumbu kacang), hingga festival budaya.

Di desa tersebut, menurut Asri, hampir 80 persen penduduknya berjualan, kemudian bekerja di bidang pariwisata maupun menjadi pegawai negeri sipil.

“Selama pandemi ‘nggak bisa dipungkiri warga sini mayoritas berjualan, jadi dari sini aja. Ada orang sini yang juga jadi pegawai negeri, pokoknya berasa banget pas pandemi,” katanya.

Namun Astri tidak menyerah bekerja sama dengan suaminya demi menghidupi keluarga kecilnya dengan dua anak.

Kehidupan mereka kembali normal perlahan saat di bulan Desember 2020, Desa Penglipuran kembali dibuka untuk wisatawan dengan protokol kesehatan COVID-19 ketat.

Karang Memadu

Selain soal emansipasi yang setara antara laki-laki dan perempuan yang saling bekerja sama dalam keluarga, di Desa Panglipuran, tidak banyak yang tahu di desa tersebut memiliki aturan adat, yakni dilarang melakukan poligami maupun poliandri.

Desa tersebut memiliki satu tempat tersendiri, yakni Karang Memadu, sebuah tempat pengucilan di desa tersebut bagi pelaksana poligami dan poliandri. Tempat tersebut berada khusus di bawah kaki Desa Penglipuran.

“Pertama, di sini ada orang tua kami leluhur kami menyampaikan bahwa kalau mau hidup rukun dalam satu keluarga cukup satu istri satu suami sepasang. Selanjutnya untuk emansipasi, atau katakanlah menghargai hak asasi, yaitu kesetaraan gender,” kata Ketua Pelaksana Wisata Desa Penglipuran, Nengah Moneng.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed