oleh

Mengantisipasi ancaman gempa dibalik proyek PLTP Bengkulu

PT PGE sendiri memiliki tiga Wilayah Kerja Pengusahaan (WKP) di Kabupaten Lebong dengan potensi daya listrik mencapai 1.000 MW. WKP tersebut berlokasi di Ulu Lais, Bukit Daun dan Tambang Sawah.

Uli menyebut salah satu diantaranya yaitu Wilayah Kerja Pengusahaan (WKP) Hulu Lais yang digarap PGE ini luasnya sebanding dengan tiga kali lipat luas Negara Singapura.

Celakanya, di sekitar area proyek tersebut ada banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan bercocok tanam seperti sawah, kopi dan usaha pertanian lainnya.

Kerusakan lingkungan

Pada April 2016 lalu, bencana tanah longsor terjadi di kawasan tambang PT PGE di Bukit Belerang, Desa Taba Anyar, Kecamatan Lebong Selatan, Kabupaten Lebong. Tanah longsor ini menimbun kamp pekerja dan warung yang berada di lokasi kejadian. Bencana ini menyebabkan korban meninggal sebanyak enam orang.

Kemudian, banjir dan longsor yang diduga akibat proyek panas bumi ini juga terjadi pada 2018 lalu. Material batu dan pasir dari wilayah hulu, tepat di wilayah proyek panas bumi, menyapu lahan persawahan milik warga. Sekitar 20 hektare sawah hingga saat ini tidak lagi bisa digunakan.

“Tiga hektar sawah milik saya tidak lagi bisa dikelola, sejak terkena longsoran bebatuan dan pasir dari padang beni apok,” kata warga yang tinggal di sekitar lokasi proyek PLTP Cucun Masyudi. Padang beni apok adalah bahasa lokal yang artinya tumpukan pasir yang tidak lagi bisa dipakai.

Cucun menyebut sebelum adanya proyek pembangkit listrik itu, warga bisa bertani dengan aman tanpa ada kekhawatiran terjadinya longsor. Sebab, tumpukan pasir yang menyapu area persawahan warga dibentengi oleh Bukit Nipis.

Saat ini benteng alami itu telah hancur karena Bukit Nipis terus dikeruk untuk proyek panas bumi. Kini Cucun tidak lagi memiliki sawah. Tiga hektare sawah yang menjadi warisan keluarganya secara turun-temurun hancur tersapu bersih material pasir dan batuan.

“Biasanya setiap panen bisa mendapatkan 200 karung beras dari sawah miliknya. Sekarang, kami tidak menghasilkan beras lagi dan saya menjadi buruh upahan di kebun milik orang,” kata Cucun.

Dia mengaku hingga kini pemerintah maupun pihak perusahaan tidak pernah bertanggungjawab atas kehancuran sawah miliknya.

Keberadaan proyek panas bumi di kawasan hutan yang menjadi hulu dari sungai yang merupakan sumber irigasi untuk mengaliri sawah milik masyarakat telah menyebabkan banyak sawah masyarakat rusak.

Masyarakat kian merugi karena hasil panen terus berkurang dan bahkan sampai ada yang gagal panen.

“Air dari wilayah hulu dimana geothermal beroperasi sudah tercampur belerang, belerang itulah yang membuat padi-padi mati,” kata kata warga desa lainnya, Jimmi (15).

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed