Selalu terngiang nasihat ibunya bahwa apa yang dialami saat ini adalah pemberian Allah.
“Nduk kalau terus-terus begini nggak akan maju, nggak akan balik tu mata semua punya Allah, nyawa kita juga punya Allah, dan rahmat-Nya begitu besar,” kata ibunya menasehati Dwi.
Di rumah, Dwi juga dididik oleh ibunya untuk bisa mandiri sebagaimana anak normal. Ia dilatih mencuci pakaian, melipat, memasak nasi, dan semua aktivitas harian bisa dilakukan sendiri kendati tak bisa melihat.
Sang ibu berprinsip jika ia memanjakan Dwi maka anaknya tidak akan bisa maju.
“Ya caranya pakai ‘feeling’ (perasaan),” ujar Dwi.
Bahkan, tak jarang Dwi lalai atau malas maka tak segan ibu memarahi dan mengingatkan.
Dalam keseharian Dwi merupakan anak yang ceria karena itu Royati selalu yakin ini adalah amanah yang diberikan Allah kepadanya untuk dijaga dan diperjuangkan.
Untuk berkomunikasi Dwi pun menggunakan telepon genggam yang dibekali aplikasi “talk back”.
Dwi juga beruntung karena di SMKN 7 Padang, ia di lingkungan yang mendukung untuk pengembangan potensi diri. Selama bersekolah, ia tak pernah mendapatkan perlakuan buruk dari kawan-kawannya. Malah sebaliknya, banyak yang membantunya.
Kepala SMKN 7 Padang Herawaty menyampaikan sekolah yang ia pimpin salah satu sekolah inklusi di Sumbar dengan saat ini terdapat 18 siswa inklusi mulai dari tunanetra, autis, hingga kesulitan belajar dari total 680 siswa.
Bahkan, Dwi salah seorang siswa yang menonjol karena setiap ia masuk kelas selalu lebih respons.
“Di sini justru siswa inklusi itu yang lebih semangat dan merespons apa yang guru sampaikan,” kata dia.
Saat belajar, para siswa didampingi oleh guru pendamping khusus yang membantu proses belajar mengajar.
Saat ini, Dwi terus bersemangat menjalani hidup dan mewujudkan cita-cita menjadi peneliti dan tak pernah surut dengan keterbatasan yang dimiliki.(anjas)
Komentar