“Jadi seharusnya setiap lima tahun dilakukan evaluasi. Apabila tahun 2001 dasar hukum kontrak produksi itu dicabut (Permendagri Nomor 3/1986), maka dia harus melakukan penyesuaian,” ujarnya.
Untuk perubahan kontrak produksi dengan PT GTI, pedoman pelaksanaannya telah tertuang dalam Permendagri Nomor 19/2016. Dalam aturannya ada penjelasan terkait skema pemanfaatan aset daerah.
“Bentuknya ada lima, antara lain sewa, pinjam pakai, bangun serah guna, kerja sama pemanfaatan, dan kerja sama penyediaan infrastruktur,” ujar dia pula.
Hasil kajian JPN, lanjutnya, kejaksaan sudah punya dua pilihan yang akan menjadi bahan penawaran kepada Pemerintah maupun PT GTI, yakni sewa atau kerja sama pemanfaatan.
“Ini yang sedang kami godok dengan Kemendagri, mana yang paling tepat. Yang paling relevan yang pemanfaatan aset,” katanya.
Namun dari hal tersebut, ada konsekuensi hukumnya. Hal itu berkaitan dengan penyesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah Gili Trawangan. Sebab, kerja sama pemanfaatan aset ini dapat berupa pembangunan apartemen, mal, sampai hotel bertingkat.
“Masalahnya, di sana boleh nggak membangun seperti itu,” ujar Dedi.
Selain itu, juga dampak sosialnya. Tim JPN menemukan ada sebanyak 89 pengusaha yang bergerak di bidang jasa pariwisata mulai dari hotel, restoran, dan tempat hiburan telah menduduki lahan konsesi PT GTI tersebut.
“Mereka di sana tanpa izin usaha, tanpa IMB. Sederhananya, usaha mereka ilegal. Tapi, mereka pada dasarnya akan ikut pemerintah sepanjang dilakukan secara adil, karena mereka sadar mereka tidak punya hak di sana,” ujarnya pula.
Namun konsekuensi ekonomisnya, perubahan kontrak produksi ini akan meningkatkan pendapatan Pemprov NTB selaku pemilik Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang memberikan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada PT GTI.(anjas)
Komentar