“Polisi tentunya melakukan langkah-langkah disesuaikan dengan harapan masyarakat. Keinginan presiden menjadi pertimbangan yang perlu dipahami oleh Polri,” katanya.
Berdasarkan aturan-aturan yang ada dalam internal, jelas Rusdi, dapat dilihat melalui Peraturan Kapolri Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Pada Pasal 1 ayat 27 itu di mana satu perkara pidana melalui proses mediasi antara pihak-pihak yang bersengketa pelapor, terlapor, maupun pihak-pihak yang dianggap mampu menyelesaikan suatu masalah.
Kedua, bisa dilihat dari Surat Edaran Nomor 2 Februari 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika dan Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif. Di mana dalam SE tersebut penyidik berprinsip ultimum remedium dan mengedepankan ‘restorative justice’ dalam menyelesaikan perkara-perkara hukum yang berhubungan dengan UU ITE itu sendiri.
“Tentunya melihat situasi kekinian, jangka pendek yang bisa dilakukan oleh Polri adalah mediasi jadi salah satu solusi terhadap kegaduhan implementasi daripada UU ITE,” terangnya.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf berpendapat dari segi hukum revisi UU ITE lebih memadukan, menemukan, mengintegrasikan citra hukum dengan keadilan, sebagaimana pernah ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo.
“Jadi kalau ini ada masalah soal keadilan maka di hulunya yang kita perbaiki,” ujarnya.
Setelah itu, langkah selanjutnya yang mesti dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika yakni memastikan soal kepastian hukum. Di sisi masyarakat, revisi atau perubahan tersebut harus ada manfaatnya.
Ia pribadi cenderung mendorong DPR menginisiasi revisi UU ITE mengingat lembaga ini mewakili rakyat.
Anggota Komisi I DPR, Sukamta setuju agar UU ITE segera direvisi. Namun hingga saat ini belum ada upaya nyata dari pemerintah, termasuk DPR.
Sukamta berpendapat, maraknya pelaporan ke polisi atas pelanggaran UU ITE, justru mengancam kebebasan pers yang selama ini sudah berjalan benar.
“Mengutip data pemidanaan terhadap jurnalis atau media pada 2018 dan 2019 ini menjadi yang tertinggi, banyak pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE ini jelas saya kira menjadi kemunduran bagi demokrasi dan bertolak belakang dengan semangat kebebasan pers di dalam UU No 40/99 Tentang Pers,” kata Sukamta.
Founder Media Kernel, Ismail Fahmi melihat pihak yang mendukung revisi UU ITE sangat besar, sehingga peran utama media massa untuk membangun percakapan publik yang benar.
Dr Ismail Fahmi Ph.D, yang merupakan pakar IT menjelaskan bahwa selama ini berbagai laporan dikelompokkan ke berbagai profesi, di antaranya profesi yang dilaporkan, 37,5 persen terlapor 69 adalah kelompok kritis seperti jurnalis (19), Aktivis (24), Dosen/Guru (19) dan buruh (7). Kemudian 56 persen lainnya, yang menjadi terlapor sebanyak 103 berstatus warga biasa.
Komentar