oleh

Hoaks dan “revisi” Perpres Investasi Minuman Beralkohol

Teknisnya adalah revisi

Arsul yang juga Wakil Ketua Umum DPP PPP itu menegaskan bahwa poin yang disampaikan Presiden Jokowi yang mencabut Lampiran III Perpres 10/2021 merupakan pernyataan tentang kebijakan. Teknisnya ke depan adalah dengan merevisi Perpres 10/2021.

Sehingga nantinya pemerintah tinggal mengeluarkan revisi perpres tersebut (dengan menyatakan menghapus lampiran perpres tersebut sepanjang yang menyangkut investasi minuman keras).

Tidak harus seluruh isi dan lampiran Perpres 10/2021 dicabut dahulu, lalu dibatalkan. Hal itu seperti perubahan undang-undangan. Bila yang diubah hanya pasal tertentu, bukan UU yang dibatalkan, melainkan cukup dengan membuat rancangan undang-undang (RUU) tentang perubahan atas UU yang isinya mengubah pasal tertentu tersebut, kata Arsul.

Pandangan senada juga dikemukakan Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra. Menurut dia, pencabutan ketentuan tentang investasi minuman keras dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal perlu dengan peraturan baru yang merevisi peraturan tersebut.

Presiden harus menerbitkan peraturan presiden baru yang berisi perubahan atas peraturan tersebut, khususnya menghilangkan ketentuan lampiran yang terkait dengan minuman keras, kata Yusril Ihza di Jakarta, Selasa (2/3/2021).

Dengan penerbitan peraturan baru yang merevisi Perpres tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, maka pengaturan investasi minuman keras telah resmi dihapus, sedangkan ketentuan lain yang memberikan kemudahan investasi tapi tidak mengandung masalah serius, maka tidak perlu direvisi.

Terlepas dari teknis untuk revisi Perpres itu, keputusan Presiden Joko Widodo mencabut Lampiran III Perpres Nomor 10 Tahun 2021 terkait dengan pembukaan investasi baru dalam industri minuman beralkohol itu diapresiasi oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU.

Menurutnya di Jakarta (2/3/2021), Perpres itu menjadi pembelajaran yang baik, bahwa setiap perumusan kebijakan publik, terutama hal-hal sensitif yang potensial kontroversial, membutuhkan mendengar suara publik. Hal ini perlu dalam penyusunan, bukan ketika regulasi sudah disahkan.

Presiden Joko Widodo benar-benar mendengarkan suara publik dan ingin menghentikan pro dan kontra. Bahkan, masukan dan saran dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Said Agil Siradj turut didengar oleh Presiden Jokowi.

Ia mengutarakan bahwa persoalan minuman beralkohol memang cukup krusial. Dalam hal ini, publik tidak bisa menutup mata bahwa komoditas itu sudah menjadi industri yang mendatangkan devisa negara.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed