oleh

SMB_IV Apresiasi Novel Alea And the Forgotten Empire

Menurutnya sebenarnya sejarah nusantara bisa diceritakan dimasa lalu melalui komik-komik dan novel-novel sehingga masyarakat bisa tahu . Dan dalam  novel ini dia melihat ada bumbu romantisnya dan ada bumbu –bumbu lain yang semakin menarik untuk membaca novel ini.  Dia menyarankan agar Kementrian dilibatkan dalam mengembangkan sejarah dalam bentuk komik malahan ini menurutnya bisa menjadi percontohan  nasional  dan bisa mengembangkan pariwisata daerah.

Apalagi menurutnya Palembang sejak dulu dikenal dengan kota dagang dimana berbagai bangsa ada di Palembang  seperti Melayu, Jawa, Arab, India dan sebagainya. “ Saya melihat buku ini bercerita kultur Palembang, saya lihat sosok  Alia ini yang bisa menembus lorong waktu  dan saya juga pecinta komik saya juga sempat membaca komik Three Kingdom,” katanya.

SMB IV juga menjelaskan tentang Sriwijaya, keberlangsungan Kesultanan Palembang, dan inisiatif Kota Pusaka yang menghubungkan kejayaan masa lalu, keberlanjutan masa kini, dan cita-cita masa depan Palembang, Sumatra Selatan, dan Indonesia, SMB IV juga berharap terhadap novel dan komik alih-wahana “Alea & The Forgotten Empire” dalam mendukung revitalisasi Palembang dan Sumatra Selatan melalui program Kota Pusaka.

Sedangkan Riela Provi Drianda menjelaskan soal reaksi positif netizen terhadap cerita fantasi “Alea dan kegagapan generasi muda Indonesia tentang sejarahnya sendiri hingga menggugah Riela dan kawan-kawan untuk mengalih-wahanakannya ke bentuk komik. Selain itu pembentukan tim kreatif dan kemitraan dengan sejarawan, budayawan, dan tokoh-tokoh seperti  Sultan Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV  Jaya Wikrama, RM Fauwaz Diraja SH Mkn untuk menjawab tantangan kesulitan tim dalam melakukan riset dan memastikan akurasi sejarah, observasi terhadap fenomena Reki-jo di Jepang dan langkah awal alih-wahana.

Lalu Dania Sitadewi menjelaskan soal tantangan sejarah dan kreatif alih-wahana “Alea… yang menyulitkan para kolaborator, proses riset & kreatif: riset dan akurasi sejarah, ketokohan, budaya (arsitektur, fashion) dan sebagainya, hambatan-hambatan yang dialami tim selama proses dan tiga harapan utama dari alih-wahana. Dan Yudhi Soejoatmodjo selaku kurator-produser dapoer dongeng yang juga moderator menjelaskan soal membangun aliran baru yang “melibatkan pembaca sehingga mereka ikut mencari dan aktif learning”. Lalu akses dan kerjasama “gate-keepers” (pemerintah, museum, arsip, akademisi, dan sebagainya ) yang berdampak pada “minimnya referensi”, “kontroversi cultural appropriation”, “kebingungan dan kegagapan”, “proses kreatif yang panjang, lama, dan berpotensi mahal” dan sebagainya, keberadaaan investor dan pasar. Selain itu ketegangan antara “akurasi sejarah, tuntutan pencitraan kebangsaan/kedaerahan, dan selera pasar  dan minimnya peran “tulisan ilmiah yang populer” seperti karya Peter Carey.(udy)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed