oleh

Ari Dwipayana: Perkuat arus tengah dalam masyarakat multikultur

Jakarta, jurnalsumatra.com – Koordinator Staf Khusus Presiden AAGN Ari Dwipayana menekankan pentingnya penguatan arus tengah, di tengah tantangan atas kondisi masyarakat yang heterogen.

Hal itu disampaikan Ari saat menjadi salah satu nara sumber dalam Rapat Koordinasi Dirjen Bimas Hindu dengan para tokoh Umat Hindu, di Jakarta, Senin (22/2), sebagaimana siaran pers yang diterima di Jakarta Selasa.

“Penguatan arus tengah penting, khususnya di saat banyak negara sedang menghadapi tantangan atas kondisi masyarakat yang heterogen,” ujar Ari.

Dia mengatakan Jerman atau Eropa yang dulu sangat homogen, saat ini juga berhadapan dengan tantangan baru yang disebabkan kondisi masyarakatnya yang sekarang sangat heterogen. Pada saat yang sama, banyak negara yang juga mulai bergeser dari monokultur menjadi multikultur.

“Di tengah kondisi tersebut, maka kebinekaan, baik intra-agama dan antaragama menjadi keniscayaan,” ujarnya.

Dia menyampaikan kebinekaan adalah anugerah istimewa yang harus terus dijaga dan rawat bersama-sama, salah satunya dengan memperkuat gerakan arus tengah keberagamaan.

Dalam paparan yang berjudul “Memperkuat Arus Tengah”, Ari menjelaskan ukuran keberhasilan literasi beragama bukanlah pada seberapa besar manusia dapat memahami teks kitab suci, namun sejauh mana mampu melakukan perubahan atau transformasi etik berdasarkan pemahaman yang dimiliki.

“Dengan demikian, kita akan melihat kemeriahan beragama tegak lurus dengan perubahan-perubahan etik dalam masyarakat, yang tergambar dari semakin membaiknya entitas sosial dan kesadaran sosial,” ujar dia.

Menurutnya, literasi tanpa perubahan etik masyarakat, akan memunculkan banyak persoalan baru, tanpa ada titik kemajuan.

Sementara moderasi adalah hal yang fundamental dalam suatu peradaban.

“Tanpa moderasi, tidak akan ada dialog, tidak akan ada satu konsensus untuk membangun sinergi. Moderasi dalam berbagai hal, termasuk dalam politik, dalam beragama adalah cara kita untuk menemukan titik temu,” jelasnya.

Lebih lanjut Ari menyampaikan tentang bahaya ekstrimisme dan radikalisme yang dapat menimbulkan konflik tajam, bahkan berakhir dengan kekerasan.

Ekstrimisme dan radikalisme bisa muncul di semua agama yang umumnya dimulai dari sikap intoleransi yang tidak diantisipasi sejak dini.

Dalam kondisi tersebut, kata dia, gerakan-gerakan ekstrimisme umumnya, “re-claim the state”. Klaim-klaim tersebut semakin kuat, karena didukung era post truth yang membuat klaim tersebut tersebar secara cepat dan luas.

Di sisi lain, tren post-truth juga membuat warganet yang berpikiran dangkal menangkap pesan tersebut tanpa berpikir kritis.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed