oleh

Mereka-reka sambungan cerita sengketa pilkada di MK

Jakarta, jurnalsumatra.com – Sudah selama dua pekan lebih ratusan cerita diperdengarkan dalam sidang perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi.

Apabila diumpamakan dengan cerita fantasi, sidang pemeriksaan pendahuluan itu berisi pengenalan tokoh dan konflik yang terjadi.

Para tokoh tentu saja pasangan calon kepala daerah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), sedangkan konfliknya adalah hasil perolehan suara.

Dari sini, sejumlah cerita akan menuju klimaks dengan berlanjut ke tahap pembuktian, sementara lainnya langsung menuju penyelesaian konflik apabila diputus dalam sidang putusan sela pada 15 hingga 17 Februari 2021.

Setidaknya hasil dari pembahasan pemeriksaan perkara dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) dapat diketahui sebanyak 87 perkara akan diputus dalam sidang putusan sela.

Sejumlah perkara sudah dapat diketahui putusannya, dilihat dari fakta persidangan, yakni perkara sengketa hasil Pilkada Nias, Bengkulu Selatan, Bandar Lampung dan Sigi, berpotensi dikeluarkan ketetapan setelah pemohon atau kuasanya mencabut perkara. Kemudian perkara sengketa hasil Pilkada Medan dan Mamberamo Raya diyakini diputus gugur karena pemohon atau kuasanya tidak menghadiri sidang.

Sementara sisanya diperkirakan tidak lanjut ke tahap persidangan dan pembuktian karena permohonan diajukan melewati tenggat waktu dan/atau selisih perolehan suara melebihi ambang batas.

Jumlah perkara yang akan diputus itu jauh lebih banyak dari yang diproyeksikan lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif. Di luar dari syarat ambang batas, perkara yang diproyeksikan akan diputus tidak diterima hanya sebanyak 30 perkara karena melewati tenggat waktu.

Perkiraan itu didasarkan adanya Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 yang membuat penanganan sengketa hasil pilkada tidak seperti sebelumnya, yakni penyelesaian sengketa kini memungkinkan penggalian informasi dan pencarian bukti lebih dulu.

Dengan begitu, ambang batas ditaksir tidak lagi menjadi syarat formal sehingga perkara yang tidak memenuhi syarat ambang batas tetap akan diperiksa pokok perkaranya.

Meskipun demikian, tampaknya Mahkamah Konstitusi menerapkan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada secara berbeda. Pasalnya, perkara yang tercatat masuk dalam ambang batas suara hanya sebanyak 25, sementara yang lanjut ke tahap pembuktian lebih dari itu.

Peneliti KoDe Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana menilai Mahkamah Konstitusi menerapkan syarat lain untuk perkara yang dilanjutkan, walaupun tidak sesuai ambang batas.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed