Jakarta, jurnalsumatra.com – Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi terus berupaya memperkuat perlindungan pelaut dan awak kapal perikanan Indonesia melalui penyusunan Rencana Aksi Nasional-Pelindungan Pelaut dan Awak Kapal Perikanan (RAN-PPAKP).
“Menyikapi adanya banyak kasus penerlantaran pelaut dan awak kapal perikanan di luar negeri, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) terus berupaya untuk memperbaiki tata kelola pelindungan pelaut dan awak kapal perikanan Indonesia,” Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Maritim dan Investasi Basilio Dias Araujo dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Penyusunan RAN-PPAKP bertujuan untuk memastikan negara hadir untuk memberikan pelindungan yang layak dan wajar kepada setiap warga negara Indonesia khususnya warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di sektor perikanan tangkap baik yang bekerja di dalam negeri mau pun di luar negeri.
Rencana Aksi Nasional Pelindungan Pelaut dan Awak Kapal Perikanan (RAN-PPAKP) beserta Lampiran Periode 2021-2024 rencananya akan diajukan untuk ditetapkan Presiden dengan Peraturan Presiden.
“Kita sangat serius perbaiki tata kelola pelindungan pelaut dan ABK WNI kita, dan ke depannya, kita buktikan ke dunia internasional bahwa peraturan-perundangan nasional kita sudah ada. Indonesia bisa jadi contoh untuk negara-negara anggota IMO, ILO, dan organisasi internasional lainnya,” ujarnya.
Basilio menjelaskan sepanjang periode 2017-2020, ditemukan 5.371 pelaut dan ABK Indonesia menjadi korban penelantaran dan eksploitasi. Pada tahun 2020 tercatat ada lebih dari 20 pelaut perikanan meninggal dunia di atas kapal-kapal asing.
Jumlah tersebut dinilai belum mencerminkan angka sebenarnya karena terdapat banyak kasus yang tidak tercatat atau dilaporkan, karena banyak pelaut dan ABK yang berangkat ke luar negeri melalui jalur independen atau mencari lowongan sendiri di luar negeri.
Menyikapi berbagai kasus penerlantaran, eksploitasi, perbudakan, gaji tidak dibayar dan pelanggaran HAM lainnya terhadap para pelaut dan ABK Indonesia, Kemenko Maritim dan Investasi pun telah membentuk Tim Nasional Pelindungan Pelaut dan Awak Kapal Perikanan yang beranggotakan K/L terkait sejak tahun 2019 lalu.
Setidaknya, Basilio mencatat ada tiga akar masalah lemahnya pelindungan pelaut dan ABK Indonesia di kapal perikanan asing. Pertama, belum sinkronnya kurikulum pendidikan dan pelatihan pelaut dan ABK sesuai dengan standar STCW-F (Standard of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel) karena Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum mengganggarkan uang untuk membeli silabus-silabus kurikulum standar IMO yang harga satu paketnya mencapai Rp60 juta dan harus dibeli dari Singapura.
Komentar