oleh

Digitalisasi untuk menurunkan angka “stunting”

Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Linus Lusi MPd, program pemberian tablet tambah darah ini perlu disertai dengan edukasi gizi dan perbaikan konsumsi pangan pada keluarga siswa puteri.

Dengan begitu, berarti pengetahuan gizi para guru perlu ditingkatkan sejalan dengan perbaikan ekonomi keluarga siswa agar pencegahan anemia tidak selalu tergantung pada TTD yang tidak semua siswi patuh mengonsumsinya.

Deputi BKKBN Prof Dr drh M Rizal M Damanik MRepSc menegaskan bahwa semua komponen bangsa, baik organisasi profesi, kepakaran, dan lembaga pendidikan harus saling bekerja sama menyukseskan program percepatan penurunan stunting, yang bila tidak direspons cepat akan memperburuk kualitas anak dan generasi mendatang.

Oleh karena itu perlu semua pihak diajak untuk menerapkan pendekatan sistem pangan dari hulu ke hilir dalam percepatan pencegahan anemia dan stunting.

Terlebih Indonesia kaya akan sumber daya pangan, baik di laut maupun di darat, yang dapat dimanfaatkan dengan optimal serta perlu penerapan inovasi yang tepat dan kepemimpinan yang kuat.

Ketua Umum AIPGI dan Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia Dr Hasto Wardoyo mengungkapkan sejatinya Indonesia telah menghasilkan banyak pemikiran strategis bagi upaya penurunan angka stunting.

Bahkan, di dalamnya dunia pendidikan di seluruh daerah di Indonesia yang perlu untuk turut serta berinovasi, memberikan advokasi dan pendampingan bagi program percepatan stunting.

Selain itu, program percepatan penurunan stunting harus fokus pada calon pengantin dan ibu hamil. Gerakan ini pun telah dimulai dengan melibatkan 1.400 program studi gizi dan program studi kebidanan yang memiliki sekitar 10.000 dosen dan lebih dari 150.000 mahasiswa gizi dan kebidanan, serta mengajak ratusan ribu dosen dan mahasiswa dari program studi terkait lainnya.

Sebagaimana koordinasi Forum Rektor Indonesia yang telah sepakat untuk menyukseskan program penurunan stunting sesuai keunggulan perguruan tinggi, yaitu kemampuan pengembangan inovasi, advokasi dan pendampingan setiap pasangan calon pengantin dan ibu hamil agar bayi lahir bebas stunting di daerah kampusnya masing-masing se-Indonesia.

Bahkan, bila perlu satu dosen mendampingi satu kecamatan atau desa prioritas stunting, dan satu mahasiswa dilatih mendampingi satu pasangan pengantin baru dan pasangan ibu hamil sejak awal konsepsi sampai bayi lulus ASI ekslusif.

Lebih lanjut Ketua Umum AIPGI Prof Hardinsyah menyatakan bahwa untuk memulai hal ini perlu disepakati langkah-langkah kerja sama yang konkrit, mulai dari akurasi pendataan dan pemetaan yang riil time secara digital tentang pasangan pengantin baru dan ibu hamil dari awal konsepsi.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed