oleh

Budaya “ewuh pakewuh” dan kluster keluarga

Hal ini menjadi salah satu sebab mengapa jumlah kluster keluarga semakin hari semakin meledak karena banyak yang tidak di-tracing secara akurat karena keterbatasan tenaga survailans. Sejumlah satgas di daerah sudah mulai mengakui kesulitan untuk mengendalikan kluster keluarga dan menjadi penyumbang yang dominan dalam kasus COVID- 19.

Ewuh pakewuh menjadikan orang Indonesia tidak berani menegur orang lain yang sebenarnya jelas melanggar protokol kesehatan di masa pandemi. Kita akhirnya menoleransi sebuah pelanggaran karena sungkan atau merasa tidak enak, tetapi akibatnya penyebaran menjadi makin sulit dikendalikan.

Sansekerta

Ewuh pakewuh berasal dari bahasa sangsekerta. Ewuh yang berarti repot dan pakewuh memiliki arti tidak enak perasaan. Namun budaya ewuh pakewuh yang merupakan budaya khas ketimuran sering dianggap sebagai perilaku yang menghormati sikap orang lain, menoleransi perbedaan pandangan dan sikap karena perasaan tidak enak berkonfrontasi dengan pihak lain atau tidak ingin mempermalukan orang di hadapan orang lain.

Budaya ini telah menghegemoni masyarakat Jawa, namun dengan sebaran suku Jawa yang hampir ada di pelosok Indonesia menjadikan ewuh pakewuh juga dikenal dan diikuti komunitas suku lainnya.

Dengan perasaan ewuh pakewuh maka setiap orang akhirnya memaklumi jika ada orang lain atau komunitas lain tidak menjalankan protokol kesehatan, apalagi jika yang melanggar adalah orang yang lebih tua atau tokoh dan pimpinan mereka.

Mengubah atau minimal mengabaikan budaya ini saat berhadapan dengan protokol kesehatan, tentu tidaklah mudah, tetapi harus ada yang berani bersuara dan disuarakan, baik oleh kepala negara, kepala daerah, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan komunitas.

Berani mengingatkan, berani tegas dan tidak pandang bulu harus menjadi sikap bersama setiap individu dalam menerapkan adaptasi kebiasaan baru selama pandemi COVID-19.

Harus disadari, status apapun yang disandang seseorang, harus menerima setiap kritikan, teguran, atau sanksi jika melanggar protokol kesehatan.

Sikap ini wajib dijalankan secara konsisten oleh setiap individu, tidak peduli apakah dia adalah pejabat pemerintah, tokoh masyarakat atau bos yang patut dihormati bawahannya.

Konsisten artinya tanpa disorot publikpun adaptasi kebiasaan baru harus tetap dilakukan dan diterapkan, tidak hanya di lingkungan kerja dan lingkungan sosial, tetapi juga yang paling penting di lingkungan keluarga.

Ada seorang pegawai yang sempat berujar bahwa ada sejumlah pejabat yang selalu mengimbau penerapan protokol kesehatan, ternyata dalam keluarganya sendiri sering abai menerapkan hal itu, seperti saat menerima tamu dari kerabatnya dan sesama kader partainya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed