Bisa dibayangkan, bagaimana jika nanti orang-orang lebih suka berwisata virtual ketimbang fisik, atau setidaknya banyak yang mengurangi wisata fisik dengan pertimbangan biaya. Ini yang harus dijawab dan dicermati karena devisa pariwisata mengalir lantaran kunjungan fisik.
Belum lagi, penghidupan bagi masyarakat di sekitar destinasi wisata yang biasanya mendapatkan keuntungan dari belanja para turis, baik ketika mereka makan, menginap, beli baju atau pakaian, hingga membeli gelang yang harganya hanya 5 ribuan rupiah.
Ya, ini bentuk disrupsi lain akibat perkembangan teknologi, selain fintech di industri keuangan, layanan online angkutan di industri transportasi, marketplace yang memanjakan orang berbelanja dari rumah dan “melumpuhkan” toko offline, serta banyak lagi.
Tantangan-tantangan ini lah yang harus segera dipelajari dan dijawab oleh para pelaku industri pariwisata di Indonesia, juga oleh pemerintah, demi menjaga salah satu pundi devisa selain mata pencaharian bagi warga, UMKM, dan bisnis lokal di sekitar tujuan wisata.
Pandami virus corona membuat sektor pariwisata dunia terpuruk, dan Indonesia–melalui Kemenparekraf–mencatat hanya 160 ribu wisman berkunjung pada Januari-April 2020, sementara periode sama 2019 mencapai 1,3 juta orang.
Bappenas memproyeksikan sektor pariwisata Indonesia akan kehilangan 12 juta wisatawan secara tahun ke tahun, sedangkan devisa yang hilang sebesar 15 miliar dolar atau sekira Rp219 triliun pada 2020 akibat pandemi.
Kelebihan dan kekurangan
Kita memang tidak perlu khawatir berlebihan dengan perkembangan pesat wisata virtual meskipun tetap harus diantisipasi dengan baik oleh pelaku industri di dalam negeri. Di samping kelebihannya yang cukup besar, sisi kekurangan wisata virtual dipercaya juga menjadi faktor bahwa cara baru ini tidak akan menggantikan cita rasa tur fisik dikaitkan dengan kodrat manusia sebagai makluk sosial.
Wisata virtual sudah pasti berdampak positif bagi lingkungan lantaran mengurangi dampak buruk akibat emisi CO2 karena orang-orang tidak perlu naik pesawat atau kendaraan bermotor untuk mencapai tujuan wisata.
Pengalaman virtual yang ditawarkan juga menyediakan kebebasan dan fleksibilitas lebih dibanding tur fisik. Anda bisa pergi ke Afrika menikmati wisata safari alam dalam “sekejap” tanpa harus beranjak dari sofa dengan tetap mengenakan piyama.
Kemudian, selain berbiaya murah, wisata virtual juga diyakini banyak kalangan bakal menjadi stimulus tur fisik. Jadi, tidak akan serta merta “mematikan” wisata fisik tapi justru akan mendorong orang mengunjungi tempat tertentu setelah mereka menjelajahinya melalui pengalaman virtual.
Komentar