Sementara HTI merupakan ormas yang suka promosi Khilafah, padahal data sejarah dalam berbagai kitab tarikh Islam (dalam buku “Islam Yes, Khilafah No?” karya Prof Nadirsyah Hosen) justru menjelaskan Khilafah Umayyah, Abbassiyah, dan dinasti lain menunjukkan jejak berbagai perilaku pemimpin yang baik, adil, terdidik, urakan peminum, sadis, raja tega, nepotisme, dan pergantian kepemimpinannya berujung pada pertumpahan darah. Itulah jejak Khilafah dalam sejarah.
Di luar fakta hukum itu, ada fakta lain terkait persepsi keagamaan dari FPI/HTI yang juga mencoreng “marwah” Islam. Hal itu diungkap ulama NU KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dengan menarik garis pembeda antara FPI/HTI dengan NU. Intinya, NU itu mementingkan Islam dalam persepsi substansial, sedangkan FPI/HTI mementingkan Islam dalam persepsi formalitas.
“NU beda dengan FPI (HTI), karena NU itu mementingkan hal-hal mendasar seperti shalat itu bisa dengan mudah dilaksanakan. Bagi NU, bisa shalat dengan bebas itu sudah cukup, karena formalitas dengan Negara Islam justru mengundang perpecahan umat, padahal shalat yang lebih diutamakan,” kata Gus Baha’ yang juga salah seorang anggota jajaran Syuriah PBNU itu dalam akun YouTube-nya.
Ulama ahli tafsir Alquran asal Rembang, Jawa Tengah itu justru mengajak umat untuk melihat “globalisasi” dakwah agama. “Kalau kita jahat kepada pemeluk agama minoritas di Indonesia, maka secara global akan bisa dibalas oleh pemeluk agama lain di negara di mana Islam menjadi minoritas, misalnya di Barat,” katanya.
Jadi, NU berperan penting dalam memandang agama dalam “jejak” Rasulullah, diantaranya mengajarkan substansi/intisari agama lebih penting daripada formalitas/simbol, akhlak lebih utama daripada teori agama, kekufuran non-Islam itu dibenci tapi kemanusiaannya dihargai, perbedaan/demokrasi itu bukan dianggap musuh tapi dijadikan unsur saling hormat, akomodatif terhadap budaya lokal untuk mengembangkan konsep Islam rahmatan lil alamin (ramah, bukan marah), seimbang dalam dunia-akhirat (lahir-batin, hak-kewajiban, pikir-zikir), serta moderat dan bertanya kepada ahlinya dalam agama.
“Ibarat buruh, buat apa kita bekerja pada perusahaan milik orang Islam yang ternyata urusan shalat menjadi ribet, tentu lebih baik menjadi buruh dari orang non-Islam tapi mempermudah kita dalam shalat. Jadi, kita pilih substansi yang lebih bermanfaat untuk agama dan tidak menjadi masalah di tengah masyarakat,” kata Gus Baha’ memberikan contoh.(anjas)
Komentar