“Saya sebenarnya mengingatkan, menyentil dan menyinggung rasa superioritas yang mengendap dalam jiwa sebagian aktivis FPI dan HTI. Endapan perasaan superior menjadi sedimen sikap keras, campuran dari semangat keagamaan yang meluap-luap, namun tidak diiringi dengan semangat pencari ilmu yang menggebu-gebu dan disiplin adab yang longgar, sehingga ‘agama’ menjadi bencana daripada solusi,” kata pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat, Ayik Heriansyah.
Sebagai fungsionaris NU yang memiliki pengalaman dengan HTI, ia menilai masalah dasar yang dialami para aktivis FPI dan HTI yang dapat disimpulkan pada suatu krisis adalah kehilangan adab (the loss of adab). Hilangnya adab menyiratkan hilangnya keadilan, yang pada gilirannya menampakkan kebingungan atau kekeliruan dalam ilmu.
“Dalam hubungannya dengan masyarakat dan umat, kebingungan dalam ilmu tentang Islam dan pandangan alam (worldview) Islam menciptakan keadaan yang memungkinkan pemimpin-pemimpin palsu muncul dan berkembang serta menimbulkan ketidakadilan,” katannya. (Islam dan Sekulerisme, 2010: 131-132).
Menyamakan NU dengan FPI dan HTI, tentu saja tidak adil. Apalagi, menganggap NU sebagai ormas baru, lalu seenaknya bersikap “kurang ajar” kepada NU adalah perbuatan biadab. “NU itu ormas sepuh. NU menyimpan segudang pengalaman, ilmu dan hikmah. Mengakui semua ini membutuhkan keikhlasan dan kejujuran tingkat ‘dewa’. Ikhlas dan jujur merupakan adab batiniah paling asasi bagi pembela Islam. Adab ini juga menjadi wadah bagi ilmu dan orang berilmu,” katanya.
Sebaliknya, ada fakta tentang FPI yang justru mencoreng “marwah” Islam dan belum diketahui orang sekaliber komedian Pandji. “Sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme, bahkan 29 diantaranya sudah dijatuhi sanksi pidana,” kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar di Kemenkopolhukam, Jakarta(30/12/2020).
Selain tindak terorisme, terdapat 206 anggota FPI yang terlibat tindak pidana umum. “Dari jumlah tersebut 100 diantaranya telah dijatuhi pidana,” ujar Omar. Fakta lain, aktivitas FPI juga mengganggu ketertiban, karena anggota FPI sering melakukan sweeping/razia yang sebenarnya menjadi wewenang penegak hukum.
Belum lagi, temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa ada transaksi lintas negara dalam rekening milik orang-orang yang terafiliasi dengan ormas FPI. Bahkan, ketika penelusuran secara digital semakin ketat, maka jalur non digital digunakan bertransaksi, seperti temuan uang dari kotak amal untuk mendanai kegiatan teroris. Di sinilah, kehadiran negara dalam memantau gerak ormas radikal itu menjadi sangat strategis.
Komentar