oleh

Kapolri baru dan simbol perlawanan pada politik identitas

Jakarta, jurnalsumatra.com – Pengajuan calon tunggal Kapolri oleh Presiden sekaligus aklamasi Komisi III DPR yang menyetujui Komjen Polisi Listyo Sigit Prabowo menggantikan posisi Jenderal Polisi Idham Aziz seakan meruntuhkan praktik politik identitas yang merebak belakangan terakhir.

Padahal selama ini seperti sudah menjadi pameo bahwa hanya jenderal Muslim saja yang punya kesempatan menempati posisi tertinggi dalam tubuh Polri.

Faktanya Listyo Sigit Prabowo yang beragama Katolik seakan tak menemui kendala berarti untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.

Padahal pada 2016, pria yang lahir di Kota Ambon, 5 Mei 1969 itu pernah menghadapi penolakan keras termasuk dari MUI Banten saat akan menjabat sebagai Kapolda Banten hanya karena kenonmuslimannya.

Perjalanan kariernya di kepolisian memang terbilang gemilang bahkan ia pernah menduduki sejumlah jabatan penting termasuk menjadi ajudan Presiden Joko Widodo.

Garis nasib membawanya pada posisi-posisi terbaik sampai kemudian mencapai puncak tertingginya sebagai Kapolri. Dan boleh jadi, alumnus Akpol 1991 itu akan tercatat sebagai salah satu Kapolri dari kalangan non-Muslim.

Namun nyatanya, ia bukan satu-satunya Kapolri non-Muslim sebab dalam sejarahnya ada Jenderal Widodo Budidarmo yang menjadi Kapolri tahun 1974-1978. Jenderal Widodo tercatat beragama Kristen.

Memang harus diakui bahwa dalam hal pimpinan Polri, tidak ada kewajiban harus diisi oleh seorang muslim. Namun dalam praktiknya, agama seseorang tetap saja menjadi bahan pertimbangan sejumlah pihak.

Terlebih mereka yang masih mengagungkan politik identitas di tengah pluralisme bangsa Indonesia yang sesuai garis pendirinya adalah ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Berbagai pertimbangan
Perjalanan Listyo Sigit Prabowo untuk menuju kursi Bhayangkara-1 sejatinya bukan perjalanan yang mulus. Sembari meniti karier di kepolisian, alumnus UI itu banyak menjalin komunikasi yang baik dengan sejumlah elemen masyarakat.

Listyo dikenal mudah dekat banyak kalangan termasuk anak-anak muda di organisasi kepemudaan. Ia terbiasa bersahabat dengan siapa pun bahkan ulama-ulama.

Hal itu terbukti menjadi investasi terbaiknya saat akan melaju ke posisi yang lebih tinggi. Harus diakui bahwa saat pertama kali diusulkan oleh Presiden Jokowi sebagai calon tunggal, nyaris tidak ada gejolak berarti di kalangan masyarakat yang biasanya sangat sensitif dengan isu agama.

Nyatanya, penetapan pria yang menulis tesis tentang penanganan konflik etnis di Kalijodo itu dianggap banyak pihak sebagai simbol bahwa pemerintah dan DPR telah memberikan kesetaraan hak dan kesempatan kepada semua putra terbaik bangsa ini.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed