Tidak hanya menolak vaksin, dia juga mengeluarkan pernyataan keras lainnya dengan menyebut komersialisasi atau bisnis tes swab COVID-19 di rumah sakit karena tarif tes swab dipatok dengan harga yang berbeda pada sejumlah rumah sakit, mulai Rp900 ribu hingga Rp3,5 juta.
Mbak Ning mengaku khawatir komersialisasi juga berlanjut pada vaksin COVID-19. Namun, tidak hanya menolak vaksinasi, atau menyebut komersialisasi, Mbak Ning juga merembet ke latar belakang Menkes yang sarjana teknik fisika nuklir.
Penolakan vaksinasi oleh Ribka Tjiptaning itu ditanggapi Relawan Penanganan COVID-19 Tirta Mandira Hudhi alias dr. Tirta, yang mempertanyakan perubahan sikap Ribka Tjiptaning karena sejak awal yang mengusulkan pejabat divaksinasi COVID-19 adalah Komisi IX DPR.
“Gak perlu sampean divaksin duluan. Saya, duluan. Saya juga gak setuju vaksin diwajibkan. Harusnya wakil rakyat dan nakes yang jadi contoh edukasi. Oke, saya akan mencatat ini bila kelak Ribka meminta vaksin apa pun, bahkan vaksin merah putih,” katanya dalam akun Instagramnya, Rabu (13/1).
Ia mempertanyakan ke mana Ribka selama 9 bulan terakhir saat pemerintah gencar-gencarnya mencari solusi dalam penanganan COVID-19.
“Jika Anda tolak, ke mana selama 9 bulan terakhir? Saat penanganan COVID? Muncul pas APD, obat, sama vaksin. Kok, pas bulan Juli gak ikut kritik vaksin, eh, begitu dah keluar EUA, baru komentar?” katanya.
Penolakan dan Euforia
Agaknya penolakan politis atau penolakan nonpolitis (tidak percaya virus) itu agaknya perlu mempertimbangkan fakta virus COVID-19 itu yang kini justru terus meningkat, bahkan secara nasional tercatat sudah di atas kisaran 10.000 orang Indonesia yang terpapar dalam sehari.
Soal penolakan tidak percaya adanya virus itu agaknya masih ada sesuatu yang tidak terlihat (kasatmata) karena ukuran materialnya yang amat kecil namun diyakini adanya, seperti udara atau kematian yang tidak terlihat, namun manusia tidak bisa hidup tanpa udara atau mengelak dari mati.
Soal penolakan vaksin yang sifatnya politis atau teknis medis juga perlu dikembalikan kepada ahlinya, apalagi BPOM sudah terlibat dalam uji coba sebanyak tiga kali dan MUI pun terlibat dalam uji kehalalan.
Nah, apakah fakta korban yang terus meningkat harus dikalahkan dengan penolakan politis dan soal ‘tidak percaya’ itu? Ya, secara teknis manajerial agaknya Indonesia perlu ‘mengejar waktu’ dengan angka korban dan kematian akibat COVID-19 daripada ‘berhenti’ untuk melayani penolakan itu.
“Umumnya, orang kini terpengaruh medsos. Harus lebih sabar menghadapi, padahal mereka berpendidikan sarjana. Memang tidak mudah, banyak alasan untuk membantah,” kata mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam catatan DI’s Way, Kamis (7/1).
Komentar